Desember 08, 2011

Mahasiswa di Bulukumba Tahan Mobil Plat Merah

Tribun Timur - Jumat, 9 Desember 2011 10:18 WITA
|
pelat-merah.jpg
dok Tribun
ilustrasi plat merah dirusak


BULUKUMBA, TRIBUN-TIMUR.COM -- Sejumlah mahasiswa menahan sejumlah mobil yang menggunakan plat berwarna merah yang melintas di Jl Sultan Hasanuddin, depan Kampus STKIP.

Mereka menahan sejumlah mobil yang menggunakan plat berwarna merah miliki Pemkab Bulukumba saat melakukan aksi unjuk rasa di tempat tersebut. Saat memperingati Hari Hak Azasi. Manusia (HAM) se-dunia.

Tidak hanya mobil dinas yang digunakan para pegawai di lingkup Pemkab Bulukumba akan tetapi mereka juga menahan sebuah mobil pengangkut sampah yang juga menggunakan plat merah.(*)

Desember 07, 2011

Mandala Ria akan dijadikan Obyek Wisata Unggulan



Pantai Mandala Ria terletak di Desa Lambanna Ara, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba. Dinamakan Mandala Ria karena di tempat inilah Panglima Mandala memesan 24 kapal pendarat dalam rangka pembebasan Irian Jaya dari kolonial Belanda, puluhan tahun silam. (Foto: http://www.bulukumbatourism.com)

---------------------

Mandala Ria akan dijadikan Obyek Wisata Unggulan

Pantai Mandala Ria terletak di Desa Lambanna Ara, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba. Dinamakan Mandala Ria karena di tempat inilah Panglima Mandala memesan 24 kapal pendarat dalam rangka pembebasan Irian Jaya dari kolonial Belanda, puluhan tahun silam.

Selain pantainya yang berpasir putih, terdapat pula tempat-tempat menarik untuk dikunjungi, yakni Goa Passohara yang di dalamnya terdapat sumber mata air. Di tempat ini pula banyak wisatawan melewatkan waktunya untuk berenang.

Tak jauh dari tempat tersebut terdapat pula Goa Passea yang merupakan situs pemakaman. Dalam perjalanan menuju pantai Mandala Ria di sisi kanan kiri jalan, akan terlihat rumah-rumah panggung dengan khas tersendiri di mana anjungan rumah dan lisplan diukir.



Banyak wisatawan yang mengakui keindahan Mandala Ria. Bupati Bulukumba Zainuddin Hasan pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat berkunjung ke salah satu objek wisata di Bulukumba itu, Selasa, 22 Februari 2011.

Di hadapan sejumlah pejabat yang menyertainya, antara lain Kepala Bappeda Burhanuddin, Kepala Dinas Bina Marga Syafrullah Arif, Kadis Perikanan dan Kelautan Hasyim, Zainuddin Hasan mengatakan, objek wisata Mandala Ria akan menjadi salah satu kawasan wisata unggulan yang prospektif untuk dikembangkan.

Bupati mengaku terpesona dan baru melihat pemandangan pantai yang begitu indah di Mandala Ria, apalagi di sekelilingnya ditumbuhi hutan yang masih asri.

"Saya baru pertama kali melihat ini, tenyata kita memiliki potensi wisata yang sangat menarik," ujarnya.

Zainuddin baru tiga bulan menjabat Bupati Bulukumba. Sebelumnya, beliau menjabat Bupati Bupati Pahowato, Provinsi Gorontalo, dan hidup dirantauan selama tiga puluh delapan tahun.

Obyek wisata Mandala Ria saat ini sudah masuk dalam salah satu tujuan wisata di Bulukumba. Selain pemandangan alamnya yang menarik, Mandala Ria juga merupakan salah satu objek wisata bersejarah, karena terkait dengan pembebasan Irian Barat.

Di sekitar pantai Mandala Ria juga ada beberapa gua yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun, seperti Gua Jabbolang, dan Guna Passuhara yang di dalamnya terdapat Danau yang menjadi sumber mata air masyarakat setempat.

Bupati Bulukumba berencana membangun infrastruktur jalan dan menata kawasan pantai sehingga bisa dikembangkan ke depan, untuk menjadi salah satu paket Bira-Mandala Ria-Samboang-Dato Tiro dan Amma Towwa Kajang.

"Insya Allah tahun depan ini akan mulai dikerjakan" kata Zainuddin.

Sebelum ke Mandala Ria, Bupati Bulukumba melakukan temu wicara dengan petani rumput laut di Kelurahan Sapolohe Kecamatan Bontobahari dan mengakhiri kunjunganya dengan meninjau proyek Jembatan Basokeng di Kecamatan Bontotiro.

[http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/.]

Bulukumba Kembali Juara Lomba Kadarkum 2011

Kamis, 08-12-2011
BULUKUMBA, UPEKS-- Tim Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum) Panrita Lopi, Bulukumba, kembali menjuarai Lomba Kadarkum tahun 2011 tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.
 Lomba Kadarkum yang diadakan di Hotel Lamacca, 5 sampai 6 Desember 2011 ini, diikuti 16 tim Kadarkum dari 16 kabupaten di Sulsel.
Tim Kadarkum Panrita Lopi Bulukumba, terdiri dari lima orang utusan, yaitu unsur pegawai negeri sipil yang diwakili Andi Ayatullah dan Muhammad Rais Haq, unsur militer diwakili Serka Rustam dari Kodim 1411 Bulukumba, serta unsur pelajar yaitu Ainun dan Riskawati dari SMA Negeri 1 Bulukumba. <span class=”fullpost”>
Tim Kadarkum Bulukumba, dipastikan juara setelah berhasil menyisihkan lawan-lawannya sekaligus menjadi juara dalam even bergengsi yang hanya diselenggarakan setiap empat tahun sekali. "Lomba Kadarkum dilaksanakan sebagai suatu sarana serta upaya, untuk memasyarakatkan hukum. Lomba Kadarkum juga sebagai sarana terciptanya budaya hukum, yang bisa memacu peningkatan kualitas tingkat kesadaran hukum dan ketaatan hukum di setiap kehidupan masyarakat," kata Andi Ayatullah, staf Bagian Humas Bulukumba yang juga menjadi peserta Kadarkum dari PNS.
Sejumlah materi yang diperlombakan, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang Undang No 11 Tahun 2000 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tim Kadarkum Panrita Lopi, berhasil mengungguli Tim Kadarkum Kota Palopo yang mendapat peringkat kedua, dan disusul Kabupaten Wajo dan Kota Makassar yang berada diperingkat ketiga dan empat. Tim Kadarkum Panrita Lopi, berhak meraih piala dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. ()

http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=77034 </span>

Ritual Adat Peluncuran Perahu Phinisi

PERAHU PHINISI. Peluncuran perahu tradisional phinisi berukuran jumbo, di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, Selasa malam, 8 November 2011, diawali dengan acara ritual adat yang dipimpin seorang sanro atau dukun. Perahu tradisional khas Kabupaten Bulukumba itu akan berlayar dari Kabupaten Bulukumba menuju Polandia di Eropa. (int)
———————
Ritual Adat Peluncuran Perahu Phinisi
- Perahu Tradisional Khas Bugis - Makassar

Sebuah perahu phinisi berukuran jumbo kini sudah berada di lautan dan bersiap-siap mengarungi samudra yang luas. Perahu tradisional khas Kabupaten Bulukumba itu akan berlayar dari Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, menuju Polandia di Eropa.
Perahu phinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan, yang pembuatannya umumnya dilakukan oleh orang-orang Bulukumba di tepi laut sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang. Perahu phinisi umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Tujuh buah layar di perahu phinisi konon melambangkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berani dan mampu mengarungi tujuh samudra besar di dunia.
Meskipun zaman sudah modern bahkan kini kita sudah berada di era milenium, pembuatan dan peluncuran perahu phinisi hingga kini masih diwarnai acara ritual adat.
Peluncuran perahu phinisi jumbo berukuran panjang 50 meter, lebar 10 meter, kedalaman 5 meter, serta tonase sekitar 800 - 900 ton, di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, dilakukan dengan melangsungkan ritual adat pada Selasa malam, 8 November 2011, disaksikan sejumlah pejabat dan masyarakat Bulukumba.
Haji Baso Muslim yang memimpin pembuatan perahu tersebut menjelaskan, perahu phinisi yang dibuat atas pesanan dari Polandia dengan harga pemesanan sekitar Rp 4 miliar itu, kondisinya belum sempurna seratus persen.
“Belum sempurna, kira-kira baru 75 persen. Selanjutnya akan dikirim ke Semarang untuk dilengkapi dengan radar, interior, perlengkapan navigasi, serta kelengkapan lainnya,” jelas Baso Muslim.
Ritual Pembuatan
Biasanya, para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku pembuatan perahu phinisi. Hari baik itu biasanya jatuh pada hari kelima dan hari ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu memperoleh rezeki. Setelah mendapat hari baik, kepala tukang yang disebut “punggawa” kemudian memulai memimpin pencarian kayu.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimanterai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.
13210041551535514267
RITUAL ADAT. Peluncuran perahu phinisi di Bulukumba, Selasa malam, 8 November 2011, diawali acara ritual adat. (Foto: bulukumbatourism.com)
Keterangan gambar:
RITUAL ADAT. Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, pada Selasa malam, 8 November 2011, seperti biasanya, diawali dengan prosesi ritual adat. (Foto: bulukumbatourism.com)
Tolak Bala
Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, pada Selasa malam, 8 November 2011, seperti biasanya, diawali dengan prosesi ritual adat.
Sebagaimana biasa pula, ritual adat dimulai dengan upacara appasili atau tolak bala. Seperti dilaporkan Ubayd dalam situs web Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bulukumba (http://bulukumbatourism.com/), untuk kelengkapan upacara appasili sebelumnya telah disiapkan seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, panno-panno yang diikat bersama pimping. Selain itu, juga disiapkan kue-kue tradisional seperti gogoso’, onde-onde, songkolo’, cucuru’, dan lain-lain.
Upacara dimulai tepat pada pukul 21.00 wita. Pembuat kapal dan sanro (dukun), serta tamu khusus dan tokoh masyarakat duduk berhadap-hadapan di atas geladak kapal mengelilingi kelengkapan upacara yang akan dipakai dalam upacara appasili.
Tak lama kemudian, terlihat mulut sanro berkomat-kamit membacakan mantera-mantera songkabala atau tolak bala. Di depan sang sanro terdapat sebuah wajan yang berisi air (dari mata air) dan seikat dedaunan untuk membacakan mantera dengan khidmat dan khusuk. Air tersebut kemudian dimantera-manterai sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah pembacaan mantera selesai, tersebut dipercikkan ke sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan ikatan dedaunan tadi. Setelah upacara selesai, kemudian para tamu dijamu dengan penganan tradisional.
Ritual Ammossi
Puncak acara ritual adalah ammossi, yakni penetapan dan pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan perahu ke laut. Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa perahu adalah “anak” punggawa / panrita lopi (pembuat perahu). Berdasar pada kepercayaan itu, maka upacara ammossi merupakan merupakan simbolisasi pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
Sebelum prosesi ammossi dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan di sekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara. “Punggawa” atau pembuat perahu berjongkok di sebelah pertengahan lunas perahu berhadapan dengan sanro. Tak lama kemudian mulut sanro berkomat-kamit membacakan mantera sambil membakar kemenyan. Selesai membaca mantera, sang sanro membuat lubang di tengah kalabiseang, selanjutnya kalabiseang dibor sampai tembus ke sebelah kanan lunas perahu.
Setelah prosesi ammossi selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke tengah laut. Prosesi ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang sangat banyak untuk menarik perahu ke laut, namun karena tonase perahu sangat berat, prosesi ini sudah menggunakan peralatan yang lebih “modern”, yaitu katrol.
Pada prosesi peluncuran malam itu, penarikan perahu phinisi menggunakan katrol dan rantai sebagai simbolisasi penarikan perahu. Perahu yang ditarik sudah dianggap masuk ke laut jika badan perahu telah menyentuh air laut.
Sejarah Phinisi
Perahu Phinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu. Perahu phinisi diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1500-an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, perahu phinisi (ketika itu belum diberi nama phinisi) pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu, pada abad ke-14, untuk berlayar menuju Negeri Tiongkok. Sawerigading menuju Tiongkok untuk meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil sampai di Negeri Tiongkok dan juga berhasil memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Negeri Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan perahu phinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu, perahu phinisi diterjang gelombang besar dan perahu tersebut terbelah tiga yang terdampar di Desa Ara, Desa Tanah Beru, dan Desa Lemo-lemo. Masyarakat pada ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Phinisi.
Dua Jenis
Ada dua jenis perahu phinisi, yaitu Lamba atau Lambo dan Palari. Phinisi jenis lamba atau lambo adalah perahu phinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM), sedangkan perahu phinisi jenis palari adalah bentuk awal perahu phinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
Terancam Punah
Para pengrajin perahu Phinisi di Kabupaten Bulukumba telah beberapa kali memasarkan perahu phinisi ke luar negeri. Negara yang menjadi pasar mereka antara lain Singapura, Papua Nugini, Polandia, Australia, Perancis, Jerman, dan sejumlah negara Eropa lainnya.
Meskipun namanya sudah terkenal ke seantero dunia, perahu phinisi harus menghadapi kenyataan bahwa “mereka” kini terancam punah. Kendala utama yang dihadapi para pengrajin perahu phinisi di Bulukumba saat ini adalah masalah kayu atau bahan baku pembuatan perahu phinisi.
Bahan baku kayu selama ini didatangkan dari Kalimantan. Kebijakan pemerintah yang membatasi pengadaan kayu dari Kalimantan membuat banyak pengrajin perahu yang pindah ke Kalimantan, Papua, dan Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Kalau mereka pindah, jelas yang dirugikan adalah Bulukumba sendiri karena kehilangan orang-orang potensial,” kata Kadisbudpar Bulukumba, Andi Nasaruddin Gau, kepada wartawan di Bulukumba, seperti diberitakan harian Tribun Timur, Makassar, Senin, 7 November 2011.
Nasaruddin berharap Pemprov Sulsel turun tangan mencari solusi agar pengrajin Phinisi di Bulukumba tidak punah.


Referensi:
- http://bulukumbatourism.com/
- http://id.wikipedia.org/wiki/Pinisi
- http://www.tribunnews.com/2011/11/07/perahu-phinisi-raksasa-akan-diluncurkan-di-bulukumba

13 Tahun Hanya Naik Sepeda Kumbang

1303883448309634943
SD Negeri 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba. (Foto: Asnawin)
Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun (1957-1960) sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960 sampai dengan 1 april 1977.
—————————
Kenangan Manis 41 Tahun Jadi Guru di Bulukumba (2):
13 Tahun Hanya Naik Sepeda Kumbang
(41 Years To Be a Teacher in Bulukumba is The Sweetest Memory for Haji Aminuddin)
Oleh: Asnawin
Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960.
Ketika masih mengajar di Kassi Buta, beberapa teman mengajarnya sempat memintanya menikah dengan wanita setempat dan kebetulan ada seorang tokoh masyarakat di desa itu yang menginginkan Aminuddin menjadi menantunya, tetapi ia menolak secara halus karena merasa masih terlalu muda untuk menikah.
Tanpa ia tahu, secara diam-diam rupanya sang ibu, Dekkala Daeng Pute (almh) telah mencarikan jodoh buat dirinya. Sang ibu rupanya tertarik melihat kepribadian seorang gadis bernama Sitti Hasnah yang bersahabat dengan adik kandung Aminuddin yang bernama Besse Daeng Jintu.
”Saya juga biasa lihat dia jalan dengan adik saya, tetapi hanya sebatas itu. Saya tidak tahu kalau ibu saya ternyata tertarik dengan gadis itu dan kemudian melamarnya untuk jadi isteri saya,” kenang Aminuddin yang oleh orangtuanya dipanggil Udding.
Mereka dinikahkan dan melangsungkan pesta perkawinan di Bulukumba pada 14 Desember 1958. Setelah menikah, sang isteri tetap tinggal di Bulukumba (sebutan untuk ibukota Kabupaten Bulukumba) dan hanya sesekali datang ke Kassi Buta. Hidup ‘terpisah” dengan isteri dijalani selama kurang 13 bulan.
Pada 1 Desember 1960, Aminuddin dipindahkan ke Sekolah Rakyat (SR) 12 Kalumeme, Kecamatan Ujungbulu. Di sekolah ini, ia mengajar sebagai guru biasa selama 17 tahun.
Ada beberapa peristiwa tak terlupakan selama 17 tahun mengajar di sekolah itu, antara lain ketika terjadi angin ribut, gedung sekolah SR 12 Kalumeme roboh.
”Terpaksa anak-anak belajar di kolong rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar sekolah,” paparnya.
Ketika itu, rumah penduduk umumnya masih berupa rumah panggung, yaitu rumah kayu yang tinggi dan rata-rata memiliki kolong setinggi antara satu setengah meter sampai dua setengah meter. Di kolong rumah penduduk itulah murid-murid SR 12 Kalumeme bersekolah sambil menunggu dibangunnya gedung sekolah baru.
Gedung sekolah baru yang dibangun pemerintah sebagai pengganti gedung yang roboh, hanya bersifat sementara yang berdinding papan dan berlantaikan tanah.
Waktu itu, juga masih ada sisa-sisa buku tulis yang terbuat dari batu pipih seukuran buku tulis berwarna hitam. Buku hitam itu hanya bisa ditulisi dengan kapur putih, sehingga tangan murid-murid sekolah umumnya kotor oleh kapur dan harus dicuci setiap ”keluar main” (jam istirahat), serta ketika usai jam pelajaran.
Saat masih mengajar di sekolah itu, SR 12 Kalumeme kemudian berubah menjadi SD Negeri 10, karena terjadi penciutan jumlah sekolah dan perubahan nama dari Sekolah Rakyat (Sekolah Rakyat) menjadi Sekolah Dasar (SD).
”Waktu itu juga sempat terjadi perpanjangan tahun ajaran, jadi anak-anak belajar selama satu setengah tahun,” ungkap Aminuddin.
Naik Sepeda
Yang juga tidak bisa dilupakan dan sekaligus menjadi kenangan manis bagi Aminuddin ketika mengajar di SD 10 Ela-ela, yaitu selama 13 tahun lamanya ia hanya naik sepeda pergi mengajar, padahal sebelum menikah ia adalah seorang remaja dan pemuda yang cukup ”berada”, serta kemana-mana naik sepeda motor HYS 500cc.
”Hanya dihitung jari ketika itu anak muda yang memiliki sepeda motor, apalagi HYS 500cc,” ungkapnya.
Ia kehilangan sepeda motornya pada tahun 1960, setelah terjadi situasi yang kurang bagus. Sebagai guru sekolah dasar, gajinya tergolong kecil, padahal ia sudah punya seorang isteri dan seorang anak.
Sepeda motor kesayangannya yang dibeli seharga Rp 4.000 (empat ribu rupiah) terpaksa dijual seharga Rp 2.000 (dua ribu rupiah), tetapi yang membeli adalah mertuanya sendiri, Malakaji Daeng Bali.
Aminuddin kemudian membeli sepeda kumbang sebagai kendaraannya sehari-hari, termasuk untuk pergi mengajar di sekolah. Sejak tahun 1960 sampai tahun 1973 atau selama 13 tahun, ia hanya naik sepeda pergi mengajar.
”Tapi saya tidak pernah terlambat ke sekolah, kecuali kalau saya sakit atau ada halangan yang tidak bisa saya hindari. Saya selalu datang paling pagi sebelum guru-guru lain datang dan pulang paling belakangan. Saya memang selalu berupaya disiplin,” tandasnya.
Tahun 1973, barulah ia bisa membeli sepeda motor, yaitu motor Suzuki 50cc seharga Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah). (bersambung)

Tak Terdengar Kumandang Adzan di Kajang

Rumah Suku Kajang

Foto Selengkapnya

Suku Kajang adalah suku yang tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Selatan. Ada berbagai cara menuju ke sana, tetapi cara termurah dengan menggunakan pete-pete, yaitu sejenis angkot kalau di Jakarta. Dengan bayar Rp10.000,- maka sampailah kita di dekat kawasan Kajang. Namun, perlu perhatian khusus bila ingin kembali dari Kajang ke Bulukumba, karena jadwal pete-pete hanya ada di pagi hari dan siang hari.

Suasana di kawasan Kajang hampir tidak ada bedanya dengan di desa lain di mana saja. Namun, ada hal yang unik, yaitu kuda yang sangat mudah ditemui di pematang, di halaman rumah maupun diikat di kolong rumah panggung masyarakat. Kuda merupakan binatang penting, dapat dijadikan moda transportasi pengangkut barang dan hasil bumi, membantu pekerjaan di ladang atau bahkan menjadi ternak potong pada saat ada upacara pernikahan.

Hal unik lainnya yang ada di kawasan Kajang adalah tidak terdengarnya kumandang adzan dari pengeras suara masjid seperti halnya di desa-desa lain di Indonesia pada saat umat Muslim menunaikan ibadah salat 5 waktu. Masjid pun jarang ditemui di sini. Secara umum masyarakat Kajang beragama Muslim tetapi mereka memiliki pemahaman dan kearifannya sendiri terhadap syariat agama yang dianutnya. Namun, demikian masyarakat Kajang hidup damai di lingkungannya.

Dimanakah? Merah Putih Berkibar pertama kali di Bulukumba Sulsel?

Dirgahayu Republik Indonesia, Ritual Bisu yang Lupa Sejarah
*Tempat Pengibaran Pertama Bendera Merah Putih tak Banyak Dikenali Orang

SETELAH menelusuri jejak sejarah Bulukumba, menanyakan ke berbagai pihak tentang tempat pengibaran bendera pertama di Bulukumba (dengan hasil yang kurang memuaskan) akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 2011, ketika hari masih gelap dan udara yang sangat dingin di kota Bulukumba, Tim Sudut RBB menerima telepon dari seseorang dan mengajak RB untuk mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di sebuah kampung tua ParangloE di Desa Bulo-bulo Kecamatan Bulukumpa yang jaraknya sekitar 27 kilometer dari kota Bulukumba. Penelusuran RB tentang pengibaran bendera merah putih pertama di Bulukumba pun terjawab.
Setelah kendaraan yang membawa RB melaju kurang lebih 45 menit ke arah utara Bulukumba, RB pun tiba di tempat tujuan. Puluhan masyarakat baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, telah berkumpul pagi itu, memenuhi sisi jalan poros (Bulo--bulo-Salassae). Waktu menunjukkan pukul 07.00 lewat beberapa menit, rumput masih sangat basah. Bahkan, aroma kotoran dari kandang ternak milik penduduk setempat masih tajam menusuk hidung. apalagi, akses menuju tempat upacara memang hanya melewati sisi-sisi rumah warga yang kebanyakan petani yang beternak sapi.
Di tengah kebun cengkeh milik warga, RB diajak oleh seorang tokoh masyarakat (H.M Yusuf/ketua Muhammadiyah Cabang Bulukumpa) menyaksikan sebuah batu hitam dengan diameter kurang lebih 1 meter. Kepada RB, Yusuf menjelaskan bahwa batu itulah yang menjadi penanda bahwa, pada tanggal 19 September 1945, di tempat tersebut, pada sebatang bambu besar (Pettung) Bendera Merah Putih dikibarkan oleh para pemuda Bulukumpa yang pro kemerdekaan. Bendera itu dikibarkan dengan perasaan haru dan takut dan dihadiri oleh sekita 20 orang penduduk sekitar. Suasananya pun sangat mencekam karena banyak mata-mata Belanda, seperti dikisahkan ayah Yusuf kepadanya.
Sekitar pukul 07.20, upacara bendera itu pun digelar (sekitar 30 meter dari batu hitam). Peserta upacaranya adalah masyarakat sekitar kampung. Jumlahnya pun tak banyak, RB menyaksikan hanya sekitar 100 an orang. Namun, upacara itu sangat khidmat. Bendera dikibarkan oleh tiga orang pembawa bendera dengan seragam putih-putih. Paduan suara yang mengiringi pengibaran Bendera itu pun sangat unik karena terdiri dari ibu-ibu tua, penduduk kampung sekitar. Di barisan peserta upacara tak kalah uniknya, walaupun ada beberapa orang PNS, seorang polisi, puluhan petani dengan pakaian seadanya juga turut mengambil barisan dengan apik.
Pada upacara tersebut, Kepala desa Bulo-bulo bertindak selaku Inspektur Upacara dan seorang pemuda setempat yang bertindak sebagai Komandan Upacara. Suasana upacara menjadi sangat mengharukan saat lagu Indonesia raya dinyanyikan oleh ibu-ibu paduan suara dan ketika kronologis pengibaran bendera tersebut dibacakan oleh Yusuf.
Dalam kronologi yang dibacakan tersebut terungkap bahwa; pengibaran bendera merah putih diprakarsai oleh H. Mappiasse, Dolo dg. Bella dan Mandor Muh. Kasim. Atas dasar itu pulalah, pengibaran bendera tersebut dilakukan di belakang rumah H. Mappiasse (beberapa meter dari batu hitam/kini menjadi kebun cengkeh tempat pelakasanaan upacara).
Pada hari itu (19 September 1945), yang menyiapkan upacara adalah Pedda alias Nusu alias Yunus bersama Marzuki yang memotong bambu di kebun milik Solong (sekitar 100 meter dari batu hitam). Bambu tersebut, dibantu oleh H. Abd Hamid Patumbui, bertiganya lalu membawa bambu tersebut ke samping rumah H. Mappiasse.
Upacara pengibaran bendera pertama tersebut dipimpin oleh H. A. Mappisabbi dan A.M Nur sebagai komandan upacara dan seorang yang bernama Kamaluddin memandu lagu Indonesia Raya.
Walau gerimis turun di kebun cengkeh tempat upacara tersebut, upacara tetap berjalan dengan baik dan tertib.
Setelah upacara selesai, Kepala desa Bulo-bulo Bulukumpa, kepada RB mengatakan bahwa, pemerintah desa sebenarnya sangat ingin membuat tugu peringatan di tempat pengibaran bendera tersebut karena merupakan bagian sejarah Bulukumba yang tak boleh dipandang sebelah mata atau ditelantarkan. Hanya saja, pemerintah desa belum berhasil melakukan negosiasi harga dengan pemilik lahan tersebut. "Semoga suatu saat nanti kami berhasil," katanya.
Sementara itu, seorang tokoh masyarakat, SB Hamid (Direktur Harian Radar Bulukumba) mengatakan bahwa, Dirgahayu kemerdekaan beberapa tahun belakangan dirasakan mengalami pergeseran. Sepertinya tak masuk lagi menelusik semangatnya di hati. Peringatan hari kemerdekaan sepertinya hanya menjadi ritual bisu yang lupa dengan sejarah perjuangannya dan ritual itu hanya seolah menjadi milik pemerintah saja. Ini tergambar dari kecenderungan masyarakat Bulukumba tidak lagi tertarik dengan khidmat mengikuti upacara pengibaran bendera seperti puluhan tahun silam.
"Puluhan tahun silam, masyarakat dari pedalaman Bulukumba akan beramai-ramai menuju kota di hari 17 Agustus, bahkan banyak yang naik kuda, hanya untuk mengikuti detik-detik pengibaran bendera. kini tidak lagi," jelasnya kepada RB.
Lebih jauh, SB Hamid mengatakan, jangankan menghayati makna perjuangan dan nilai kemerdekaan, hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa sejarah kemerdekaan pun kini tak lagi menjadi hal yang menarik bagi generasi muda. "Bayangkan saja, di Bulukumba, tempat pengibaran pertama bendera merah putih saja tak banyak dikenali orang," katanya.
Setelah meninggalkan tempat tersebut, RB berkesempatan menemui dua orang diantara saksi sejarah yang masih hidup atas pengibaran bendera merah putih pertama di Bulukumba yakni H. Muh. Said di desa Bulo-bulo dan H. Abd Hafid Patumbui di kota Bulukumba. Kedua saksi sejarah tersebut sudah tua dan kondisi fisiknya terus mengalami penurunan karena usia yang kian lanjut. Namun, mata mereka masih menyiratkan perjuangan yang keras untuk kemerdekaan bangsa ini. (dhika/80)
(tulisan ini dikutip dari Harian Radar Bulukumba)