Desember 05, 2011

Tokoh-tokoh Bugis Bulukumba

Siapa M. Jusuf? Tidak banyak tulisan yang bisa mengungkapkan pria Bugis yang satu ini. Masalahnya, ia sendiri selalu menolak untuk ditulis. Sikap ini diperteguh kenyataan, M. Jusuf bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar ceritera. Ia amat pelit dalam mengungkap sesuatu kepada publik, apalagi yang berkait dengan dirinya. Maka, sosok sejati M. Jusuf hanya bisa dipahami melalui penuturan orang ke orang, yang kebetulan pernah dekat dan bekerjasama dengan dirinya.Jenderal M. Yusuf bisa dibilang adalah sosok yang misterius.
Sikap yang terkesan tertutup ini bukan karena ia menutupi wilayah kelabu. Kesan ketertutupan itu lahir semata-mata karena M. Jusuf tidak senang merepotkan orang lain. Ia bukan pribadi yang menikmati kehebohan atas sebuah kejadian yang melibatkan orang lain. Ia bukan tipe orang yang bersenang-senang di atas ketelanjangan orang lain. Karena itu, setiap kejadian yang melibatkan dirinya dan orang lain, amat sulit dibeberkan. Ia tidak ingin mencederai orang lain dan keluarganya karena sebuah kejadian di masa silam. Baginya, masa silam tidak bisa dijadikan alat untuk merusak orang dan keluarganya. Ia simpulkan sikap ini dalam kosa kata Bahasa Bugis (ampe), artinya watak atau etika. Prinsip ini dipegangnya hingga kepergiannya.
Ihwal kejujuran, tidak perlu dipolemikkan. Semua orang yang mengenal dekat M. Jusuf, pasti mengacungkan jempol. Kejujuran M. Jusuf berbanding lurus dengan kesederhanaannya. Beberapa dekade, ia menjadi petinggi di republik ini, kehidupannya tetap sama. Asesori kenikmatan sesaat amat jauh dari kehidupannya. Ia malah, tak memahami nilai uang. Beberapa orang, termasuk kemenakannya, , pernah diberi uang kurang dari setengah juta rupiah. Ketika ia memberi uang itu, ia selalu wanti-wanti orang yang diberinya, menjaga diri agar tidak dirampok di jalan. Bagi M. Jusuf, uang itu seakan milyaran yang harus dibawa. Dalam perspektif ini, M. Jusuf teguh memegang prinsip kepemimpinan Bugis, seorang pemimpin yang berwibawa harus pemimpin yang berwatak malempu (lurus atau jujur).
Dalam prinsip hidup, M. Jusuf amat mengutamakan kejujuran karena ia tidak pernah percaya, pemimpin yang tidak jujur, bisa berwibawa. Orang yang bersih adalah orang yang bebas mengambil keputusan, dan pemimpin yang bebas mengambil keputusan, adalah pemimpin yang berwibawa.
Prinsip hidup sejenis ini menimbulkan rupa-rupa tafsir. Ada yang menilai, M. Jusuf menutupi berbagai kejadian masa lalu karena imenyangkut reputasi dirinya. Lalu, orang mengambil kejadian masa lalu yang melibatkan M. Jusuf, yakni, terbunuhnya Kahar Muzakkar. Hingga kini, nisan dan kuburan Kahar Muzakkar, tidak diketahui publik, padahal, saat ia tertembak mati, jenazahnya dibawa ke Makassar. Setelah itu, hanya teka–teki yang bermunculan, yang tidak pernah dijawab M. Jusuf hingga kini.
Sekilas, ada sesuatu yang ganjil dengan kejadian ini. Namun, ketertutupan M. Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M. Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah ke depan. M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.
Masih dalam kaitan dengan Kahar Muzakkar. Saat M. Jusuf memutuskan mendatangkan tentara dari Jawa untuk memberantas pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, orang bertanya. Mengapa M. Jusuf tidak menggunakan saja pasukan pemerintah yang sudah ada di kedua provinsi itu, yang juga tentara-tentara bersuku Bugis/Makassar, sama dengan suku Kahar Muzakkar? Mengapa M. Jusuf mengambil kebijakan seakan membiarkan sukunya digempur pasukan luar? Tak pernah ada jawaban M. Jusuf ke publik hingga kini.
Kebijakan tanpa penjelasan publik, ternyata dilakukan M. Jusuf, semata karena ia ingin cepat menyelesaikan kasus ini. Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.
Kesan ketertutupan seolah diperteguh praktek hidup sehari-hari M. Jusuf. Ia tak mudah, misalnya, menghadiri pesta, termasuk perkawinan. Baginya, yang paling penting dalam hidup adalah hadir saat orang lain kesusahan. Prinsip ini diaplikasikan, misalnya, ada kerabat yang sakit. M. Jusuf mengurus orang yang sakit sampai kepada hal yang amat detail. Dan itu dilakukan tanpa memberi kabar kepada publik.
Apakah rentetan misteri kejadian di republik ini, yang melibatkan M. Jusuf, langsung atau tak langsung, menjadi teka teki? Saya kira tidak. Soalnya, M. Jusuf selalu menulis catatan harian tentang banyak hal yang dialami. Ia menuliskan kejadian itu dalam aksara Bugis. Sebagai orang yang jujur, tulisan-tulisannya, juga refleksi dari kenyataan sebenarnya dan ditorehkan dengan kejujuran pula.
Kini, Jenderal yang misterius dandiidolakan oleh bangsa itu, khususnya prajurit dan perwira TNI, terbaring tenang. Kepergian jenderal yang lurus ini, tentu amat berbekas di kalangan TNI, sebab M. Jusuf adalah pimpinan TNI yang amat memperhatikan nasib prajurit dan peralatan TNI. Di era Jusuf, pembelian peralatan TNI dilakukan besar-besaran, yang hingga kini masih dipakai.
Saat menjadi Menhankam/Panglima TNI, M. Jusuf membarui peralatan TNI. Satu di antara adalah sejumlah pesawat hercules. Ia sama sekali tak menyangka, pesawat hercules yang dibelinya, adalah pesawat terakhir yang mengangkutnya dari Jakarta ke Makassar, dengan tubuh rapuh.
Kami bangga dengan Bapak, beristirahatlah dengan tenang.

Arifin Nu’mang merupakan tokoh asal Rappang Sidrap yang sangat populer di mata masyarakat khususnya masyarakat Bugis yang hampir seluruh isi hidupnya diabdikan untuk tanah tumpah darah Indonesia.
Ia lahir saat ayahnya meninggalkan kampung untuk tugas negara di Takalar, pada tanggal 25 Pebruari 1927. Sekembalinya ke Pare-pare sekitar 30 km dari kampung halaman orangtuanya di Rappang, Arifin yang saat itu masih balita, masih sempat menyaksikan beberapakali sejumlah pejuang kemerdekaan berunding mengatur strategi dan siasat di rumahnya, yang saat itu dijadikan sebagai markas dan tempat pelatihan para pejuang Laskar Ganggawa. Sehingga pada saat usia remaja, Arifin ikut angkat senjata untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, dan mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Akibat rumah Arifin dijadikan markas Ganggawa, maka pada saat Arifin muda tengah bergerilya di hutan belantara, ayahnya La Nu’mang bersama kakak kandungnya, St. Hasnah, ditawan dan dipenjarakan tentara Belanda. Bulan Desember 1947,  ayahnya ditembak mati secara massal oleh pasukan Westerling di Pare-pare, meski kakak kandungnya berhasil dibebaskan atas perintah Ratu Welhelmina dari Nederland, yang saat itu sedang hamil tua, menyerukan agar kaum perempuan dibebaskan. Dalam keadaan piatu, Arifin masih tetap melanjutkan pergerakan, sehingga ditawan dan dipenjarakan oleh tentara Belanda selama dua tahun (31 Desember 1947-29 Desember 1949), di Pare-pare, dan kemudian dipindahkan ke Penjara Layang Makassar.
Setelah dibebaskan, Arifin kembali melanjutkan perjuangannya, sehingga pada saatnya tanggal 18 Mei 1951, berdasarkan Surat Keputusan KASAD, ia diangkat menjadi tentara. Maka sejak itulah bergantian jabatan ketentaraan dipercayakan kepadanya, sampai pada posisi terakhir sebelum dikaryakan sebagai Penjabat Bupati Sidrap dan menjadi Bupati Sidrap defenitif selama dua periode, sejak tahun 1966 sampai 1978, ia adalah Komandan Batalyon 011 Toddopuli yang berkedudukan di Pare-pare. Pada masa 12 tahun mengemban tugas kekaryaan sebagai Bupati Sidrap, banyak gebrakan dan inovasi baru yang dilakukannya untuk membebaskan rakyatnya dari kemelaratan, peduli pada peningkatan kesejahteraan rakyatnya, ramah dan disegani, sehingga ia sangat dihormati dan dicintai oleh masyarakat pada umumnya.
Selesai mengemban tugas sebagai Bupati, sejak tahun 1979 ia dipercayakan oleh mantan komandannya A. Mattalatta, untuk memimpin Markas Daerah LVRI Sulawesi Selatan hingga akhir hayatnya. Tetapi pada saat yang bersamaan, melalui Pemilu 1987 dan 1992 ia terpilih menjadi anggota DPRD Propinsi Sulawesi Selatan selama dua periode, serta berbagai posisi yang disandangnya di sejumlah organisasi sosial lainnya. Akhirnya pada tanggal 7 April 1996, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pelamonia dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar melalui upacara kebesaran militer.

I Lagaligo merupakan  tokoh bugis yang banyak dibahas para sejarawan dalam berbagai versi. Bisa dibilang I Lagaligo Putra Sawerigading merupakan perpaduan antara mitos dan sejarah. Namun demikian, I Lagaligo sudah terlanjur melegenda baik di tanah Bugis maupun di daerah lain bahkan menjadi legenda dunia yang dibicarakan banyak orang. Dari  sekian versi tentang Sejarah Bugis I Lagaligo PUtra Sawerigading dapat kami paparkan secara ringkas di sini.
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

g
Lasinrang
Lasinrang merupakan salah satu pejuang bugis asal pinrang yang memimpin para pemuda di tanah addatuang (kerajaan) Sawitto melawan penjajah Belanda. Lasinrang lahir di Desa Dolangan, Pinrang pada tahun 1856 dan wafat di tahun 1936. Dalam lembaran sejarah, Lasinrang adalah salah seorang pejuang yang tak bisa dikalahkan Belanda selama masa penjajahan. Taktik keji Belanda-lah yang menahan ayahnya, Addatuang Sawitto, dan istrinya, I Makkanyuma, membuat Lasinrang menyerah.
Warga Pinrang mengabadikan nama Lasinrang di setiap sudut kota sebagai nama jalan, gedung olahraga, rumah sakit dan lain-lain. Bahkan patung Lasinrang berbulu emas berdiri tegak di pusat Kota Pinrang yang berjarak sekitar 185 kilometer dari Kota Makassar.
Kisah Hidup Lasinrang
Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu Lasinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo Lasinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, Lasinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu ciri bahwa putra Adatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu kecil Lasinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “Massaung“ (menyabung ayam). Dari kegemaran ini, Lasinrang selalu menggunakan “Manu’ bakka“ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah pada bagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran menyabung ayam dengan “manu bakka“ tersiar keluar daerah, sehingga Lasinrang dikenal dengan julukan “Bakka Lolona Sawitto“ juga dapat diartikan “Pemuda berani dari Sawitto” . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permainan tersebut.
Lasinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong (La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro dari hasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya.
Lasinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “La Salaga‘ sedang kerisnya diberi nama “JalloE”
Dengan akal bulus Belanda, Lasinrang menyerahkan diri karena ayah dan istrinya ditangkap dan diancam akan disiksa.  Lasinrang menjalani masa pengasingan di Banyumas dan dipulangkan dalam keadaan sakit dan lanjut usia, Lasinrang akhirnya wafat pada tanggal 29 Oktober 1938 dan dimakamkan di Amassangeng.
 

Usman Balo (1991)
Usman Balo adalah salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Selain karena keberaniannya dalam melawan penjajah, Usman Balo juga terkenal karena memiliki 108 orang isteri, meskipun demikian, Usman Balo punya prinsip yang patut diteladani, beliau sangat pantang bercinta atau menggauli wanita jika belum ia nikahi.
Pada jamannya, Usman Balo sangat disegani dan ditakuti baik oleh sesama pejuang ataupun oleh kompeni Belanda. Saat itu banyak desa yang diobrak-abrik oleh penjajah, namun desa-desa dimana terdapat keluarga korban tidak pernah disinggahi oleh penjajah. Dengan alasan tersebut almarhum mulai menikahi gadis-gadis hampir di setiap desa. Usman Balo meninggalkan 26 orang anak, dan lebih 100 orang cucu serta puluhan orang cicit.
Pejuang kharismatik ini dikenal berani, teguh dan penuh dedikasi serta pantang menyerah dan menyandang pangkat terakhir Kapten TNI AD. Pria berjuluk ‘Balo’na Sidenreng’ ini menyandang sejumlah piagam tanda jasa. Almarhum adalah rekan seperjuangan tokoh Sulsel lainnya Brigjen TNI (Purn) Andi Sose, dan mantan Gubernur Sulsel Brigjen TNI (Purn) Andi Oddang.
Usman Balo pernah memperjuangkan terbentuknya Republik Persatuan Indonesia, terdiri dari beberapa negara bagian. Tapi, lantaran Bung Karno lebih menghendaki negara kesatuan,akhirnya perjuangan Usman Balo menghadapi rintangan. Itulah yang membuatnya bergerilya bertahun-tahun di hutan, bersama Kolonel Abdul Kahar Muzakkar dan membentuk kelompok perjuangan Tentara Islam Indonesia atau yang sekarang dikenal dengan Pemberontakan DI/TII. Pembagian wilayah kekuasaan antara kesatuan-kesatuan DI/TII Sulawesi Selatan, ternyata menimbulkan pertentangan intern. Seringkali, akibat operasi yang dilancarkan TNI, pasukan yang satu memasuki wilayah kekuasaan pasukan yang lain. Bulan Desember 1952, Batalyon Latimojong pimpinan Usman Balo memasuki wilayah Batalyon Rante Mario. Antara kedua pasukan itu terjadi bentrokan fisik. Kahar Muzakkar menyalahkan Usman Balo. Akibatnya hubungan antara kedua tokoh pemberontak itu mulai retak. Dalam perkembangan kemudian Usman Balo memutuskan sama sekali hubungannya dengan Kahar, walaupun ia tetap melanjutkan pemberontakannya. Kemudian pertentangan itu meningkat menjadi pertentangan ideologis. Usman Balo menolak jalan Darul Islam yang dianut Kahar, dan tidak bersedia mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam seperti yang dilakukan Kahar sejak bulan Agustus 1953. Pertentangan antara keduanya mencapai puncaknya dalam bentuk pertempuran terbuka di Bulu Cenrana (Sidenreng Rappang). Pertempuran terjadi tanggal 14 Desember 1954 dan berlangsung selama tiga hari.
Usman Balo wafat pada tanggal 5 Mei 2006 di usia 88 tahun karena sakit asma di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Mario Rappang, Sidrap.

Muhammad Jusuf Kalla merupakan tokoh asal Bugis kedua setelah B.J. Habibie yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Indonesia. Kalau Bapak Habibie menjadi Wakil Presiden dan kemudian menggantikan Soeharto saat mengundurkan diri sebagai Presiden, maka Jusuf Kalla adalah Wakil Presiden terpilih berpasangan dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009. Yusuf Kalla  lahir di Wattampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942. Ia menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1967 dan The European Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977). Pada Oktober 2004 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) berhasil sebagai pemenang Pemilu. SBY dilantik sebagai Presiden RI ke-6 dan M. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI ke-10. Pasangan ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama kali dipilih rakyat secara langsung. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), M. Jusuf Kalla dipercayakan selama kurang dari setahun (1999-2000) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI merangkap Kepala Bulog. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) ia dipilih menduduki jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jusuf Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai Menko Kesra RI sebelum maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain tugas-tugas sebagai Menko Kesra, M. Jusuf Kalla telah meletakkan kerangka perdamaian di daerah konflik Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku. Lewat pertemuan Malino I dan Malino II dan berhasil meredakan dan menyelesaian konflik di antara komunitas Kristen dan Muslim.
Kunjungan kerjanya sebagai Menko Kesra ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada awal tahun 2004 memberinya inspirasi untuk menerapkan pengalaman penyelesaian konflik Ambon-Poso di NAD. Upaya penyelesaian Aceh di dalami dan dilanjutkan penanganannya saat setelah dilantik menjadi Wakil Presiden RI. Akhirnya, kesepakatan perdamaian untuk NAD antara Pemerintah dan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Pengalaman pada organisasi pemuda/mahasiswa seperti Ketua HMI Cabang Makassar tahun 1965-1966, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) 1965-1966, serta Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tahun 1967-1969 memberi bekal untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit tersebut.
Tahun 1965 sesaat setelah pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), M. Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan dan Tenggara (1965-1968). Kemudian, terpilih menjadi Anggoa DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1965-1968 mewakili Sekber Golkar. Pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar di Bali, bulan Desember 2004 ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar Periode 2004-2009. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Anggota Dewan Penasihat DPP Golkar, dan menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Utusan Golkar (1982-1987), serta Anggota MPR-RI Utusan Daerah (1997-1999).
Putra pasangan Hadji Kalla dan Hajjah Athirah ini sebelum terjun ke pemerintahan dikenal luas oleh dunia usaha sebagai pengusaha sukses. Usaha-usaha yang dirintis ayahnya, NV. Hadji Kalla, diserahkan kepemimpinannya sesaat setelah ia diwisuda menjadi Sarjana Ekonomi di Universitas Hasanuddin Makassar Akhir Tahun 1967.
Di samping menjadi Managing Director NV. Hadji Kalla, juga menjadi Direktur Utama PT Bumi Karsa dan PT Bukaka Teknik Utama.
Usaha yang digelutinya, di samping usaha lama, ekspor hasil bumi, dikembangkan usaha yang penuh idealisme, yakni pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, dan irigasi guna mendorong produktivitas masyarakat pertanian.
Anak perusahaan NV. Hadji Kalla antara lain; PT Bumi Karsa (bidang konstruksi) dikenal sebagai kontraktor pembangunan jalan raya trans Sulawesi, irigasi di Sulsel, dan Sultra, jembatan-jembatan, dan lain-lain. PT Bukaka Teknik Utama didirikan untuk rekayasa industri dan dikenal sebagai pelopor pabrik Aspal Mixing Plant (AMP) dan gangway (garbarata) di Bandara, dan sejumlah anak perusahaan di bidang perumahan (real estate); transportasi, agrobisnis dan agroindustri.
Atas prestasinya di dunia usaha, Jusuf Kalla dipilih oleh dunia usaha menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan (1985-1997), Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia (1997-2002), Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Sulawesi Selatan (1985-1995), Wakil Ketua ISEI Pusat (1987-2000), dan Penasihat ISEI Pusat (2000-sekarang).
Di bidang pendidikan, Jusuf Kalla menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Hadji Kalla yang mewadahi TK, SD, SLTP, SLTA Athirah, Ketua Yayasan Pendidikan Al-Ghazali, Universitas Islam Makassar. Selain itu, ia menjabat Ketua Dewan Penyantun (Trustee) pada beberapa universitas, seperti Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar; Institut Pertanian Bogor (IPB); Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar; Universitas Negeri Makassar (UNM), Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina; Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNHAS.
Di kalangan ulama dan pemuka masyarakat, nama Jusuf Kalla dikenal sebagai Mustasyar Nahdhatul Ulama Wilayah Sulawesi Selatan, melanjutkan tugas-tugas dan tanggung jawab ayahnya, Hadji Kalla, yang sepanjang hidupnya menjadi bendahara NU Sulsel juga menjadi bendahara Masjid Raya, Masjid Besar yang bersejarah di Makassar. Ketika akan membangun masjid bersama Alm. Jenderal M. Jusuf, Jusuf Kalla dipilih menjadi Ketua Yayasan Badan Wakaf Masjid Al-Markaz al-Islami (Masjid Jend. M. Jusuf). Sekarang, Masjid tersebut menjadi Masjid termegah di Indonesia Timur.
Di kalangan agama-agama lain selain Islam, Jusuf Kalla dipilih menjadi Ketua Forum Antar-Agama Sulsel.
Penggemar olah raga golf ini, selama sepuluh tahun (1980-1990) menjadi Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) dan Pemilik Club Sepak Bola Makassar Utama (MU) tahun 1985-1992.
H. M. Jusuf Kalla yang menikah dengan Nyonya Hajjah Mufidah Jusuf telah dikaruniai satu putra dan empat putri serta dikaruniai sembilan cucu.
Selain tugas rutin, Wakil Presiden Republik Indonesia juga melaksanakan program-program strategis pemerintah Indonesia, meliputi: revitalisasi pertanian dan kehutanan, pertanian; peningkatan kinerja industri dalam negeri dengan membangun industri listrik, dan industri pertahanan, energi dan sumber daya mineral; pekerjaan umum dengan percepatan pembangunan jalan tol Trans-Jawa, jalan di luar Jawa serta proyek pengairan skala menengah.
Program strategis Wakil Presiden Republik Indonesia juga mencakup: percepatan pembangunan bandara udara, pelabuhan dan kereta api; perdagangan dengan peningkatan ekspor; kelautan untuk peningkatan produksi perikanan; tenagakerja dengan penyelesaian masalah perburuhan; perumahan dengan membangun rumah susun; pariwisata dengan peningkatan; bidang BUMN dengan peningkatan kinerja BUMN; bidang Usaha Kecil Menengah dengan menghidupkan kembali sistem jaminan untuk kredit kecil; dan bidang penanaman modal dengan menyusun program perbaikan Doing Business.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
Tempat/Tgl. Lahir : Watampone, 15 Mei 1942
Alamat Rumah : Jl. Denpasar Raya CIII/9 Kuningan Jakarta Pusat
Isteri : Ny. Mufidah Jusuf
Tempat/Tgl. Lahir : Sibolga, 12 Februari 1943
Anak-anak :
1. Muchlisa Jusuf
2. Muswirah Jusuf
3. Imelda Jusuf
4. Solichin Jusuf
5. Chaerani Jusuf
6. Cucu : (1). Ahmad Fikri; (2) Mashitah; (3) Jumilah Saffanah; (4) Emir Thaqib; (5) Rania Hamidah; (6) Aisha Kamilah; (7) Siti Safa; (8) Rasheed; dan (9) Maliq Jibran.
Pendidikan Terakhir : Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin Makassar, 1967
PENGALAMAN PEMERINTAHAN
* 1999 – 2000 : Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
* 2001 – 2004 : Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rayat Republik Indonesia
* 2004 – 2009 : Wakil Presiden RI
PARTAI GOLKAR
* N P A G : 20000000066
* 1965 – 1968 : Ketua Pemuda Golkar Sulsel
* 1978 – 1999 : Anggota Dewan Penasehat DPD Golkar Sulawesi Selatan
* 1999 – 2005 : Anggota Dewan Penasehat DPP Gololongan Karya (Golkar)
* 2005 – 2010 : Ketua Umum DPP Golkar
LEMBAGA LEGISLATIF
* 1965 – 1968 : Anggota DPRD Sulsel, mewakili Pemuda Sekber Golkar
* 1982 – 1987 : Anggota MPR – RI Utusan Golkar
BIDANG AGAMA
* Ketua Yasan Badan Wakaf Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar
* Bendahara Masjid Raya Makasar
* Mustasyar NU Sulsel
* Ketua Forum Antar-Agama Sulsel
BIDANG OLAHRAGA
* 1980-1990 : Ketua PSM Makassar
* 1985-1992 : Ketua Klub Sepak Bola Makassar Utama
* 1980-1990 : Bendahara PERBAKIN Sulawesi Selatan
BIDANG ORGANISASI MAHASISWA
* 1964-1966 : Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNHAS Makassar
* 1965-1966 : Ketua Umum HMI Cabang Makassar
* 1966-1968 : Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan
Referensi :
-
BIDANG ORGANISASI PROFESI
* 1985-1997 : Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Sulawesi Selatan
* 1997-2002 : Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia
* 1985-1995 : Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sulawesi Selatan
* 1987-2000 : Wakil Ketua ISEI Pusat
* 2000-Sekarang : Penasehat ISEI Pusat
* 1990-Sekarang : Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Hasanudin, Makassar.
* 1987-1992 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Golkar
* 1992-1997 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Daerah
* 1997-1999 : Anggota MPR RI (Anggota Badan Pekerja) – Utusan Daerah
BIDANG DUNIA USAHA
* 1969-2001 : Direktur Utama NV. Hadji Kalla
* 1969-2001 : Direktur Utama PT. Bumi Karsa
* 1988-2001 : Komisaris Utama PT. Bukaka Teknik Utama
* 1988-2001 : Direktur Utama PT. Bumi Sarana Utama
* 1988-2001 : Direktur Utama PT. Kalla Inti Karsa
* 1995-2001 : Komisaris Utama PT Bukaka Siagtel International
BIDANG SOSIAL/PENDIDIKAN
* 1982-Sekarang : Ketua Umum Yayasan Pendidikan Hadji Kalla
* 1990-Sekarang : Ketua Umum Yayasan pendidikan Al-Gozali Universitas Islam Makassar
* 1975-1995 : Ketua Yayasan Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia, Makassar
* 1975-Sekarang : Ketua Perguruan islam Dutumuseng, Makassar
* 1980-Sekarang :
* Anggota Dewan Penyantun Universitas Hasanudin,
* Anggota Dewan Penyantun IAIN Makassa,
* Anggota Dewan Penyantun UNM/IKIP Makassar.
* 2002-Sekarang : Anggota Wali Amanat IPB-Bogor.
* 2006-Sekarang : Ketua Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina.

Pada hari Senin kemarin seperti biasa, saya (Admin) menunaikan shalat subuh berjamaah di sebuah masjid yang sederhana bernama Masjid “Al-Manaar” Muhamamdiyah di Kota Pangkajene Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Usai shalat subuh berjamaah pengurus masjid mengumumkan kalau salah satu jama’ah masjid bahkan pernah menjadi Imam tetap di Masjid Al-Manaar bernama H. Muhammad Salim telah berpulang ke Rahmatullah pada hari Ahad/27 Maret 2010 seusai mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat maghrib. Saat itu terus terang saya bersikap biasa-biasa saja, barulah pagi harinya saat membaca koran terbaru saya terkejut karena ternyata H. Muhammad Salim yang dimaksud adalah orang yang sangat berpengaruh dan berjasa dalam dunia kasusasteraan Sulawesi Selatan. Beliau adalah penerjemah manuskrip lontarak I La Galigo. Beliau memang putra Sidrap, berasal dari Desa Allakkuang yang berjarak sekitar 5 kilometer sebelah selatan Ibukota Sidrap, Pangkajene. Jika bukan karena kerja keras Muhammad Salim, 75, kisah I La Galigo mungkin hanya akan terkurung dalam manuskrip tua yang perlahan menuju kepunahan. Boleh dikata, Muhammad Salim lah yang punya andil besar hingga I La Galigo mendunia, terutama setelah dipentaskan dalam bentuk teater di Asia, Eropa, dan Amerika, oleh sutradara teater terkenal asal Amerika Serikat, Robert Wilson. Sejak 2002, I La Galigo sudah “Go Internasional” ke  Singapura, Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei. Berkat pementasan kelas internasional ini pula, Sureq I La Galigo bakal segera ditetapkan sebagai Memory of World oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Kisah Bugis kuno itu akan menjadi milik dunia.
Muhammad Salim memang telah memiliki ketertarikan terhadap epik I La Galigo sejak kecil. Putra Sidrap kelahiran Allakuang, 4 Mei 1936 silam ini selalu terpikat saat Sureq I La Galigo didendangkan oleh sesepuh di kampungnya yang masih memahami bahasa Bugis kuno. Sureq I La Galigo mengisahkan prosesi penciptaan dunia versi Bugis purba. Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Sawerigading, putra penguasa dunia tengah, ksatria sakti mandraguna dan seorang pengelana. Sedangkan I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah. Kisah Sawerigading yang begitu fantastis membuat Salim terus mencari dan mengumpulkan naskah-naskah yang ada. Namun bukan pekerjaan mudah menyusun kisah itu. Bayangkan saja, manuskrip lontarak I La Galigo terpencar di desa-desa di Sulsel.
Untung saja, kerja keras Salim mengejar naskah-naskah I La Galigo ini, diketahui pihak Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal Leiden (KIVTL), Belanda. Pihak perpustakaan kemudian mengundang Salim ke Belanda untuk menerjemahkan tumpukan naskah I La Galigo yang juga tersimpan di sana. Manuskrip Sureq I La Galigo di Leiden merupakan naskah yang disusun oleh Arung Pancana Toa yang kemudian dibawa oleh Dr B.F Matthes ke Belanda pada masa kolonial. Pada 1987,  Salim terbang ke Belanda. Di Perpustakaan KITVL, Salim memulai misinya menerjemahkan naskah lontarak I La Galigo yang oleh orang-orang Bugis di masa kini, mungkin sudah susah diartikan. Bagi dia sendiri, bahasa Bugis terbagi pada tiga klasifikasi, yaitu Bugis Pasaran, Bugis Podium dan Bugis Lontarak.
“Bahasa yang dipakai di tengah masyarakat adalah bahasa pasaran. Bugis Podium itu bahasa yang dipakai dalam ceramah-ceramah. Kalau Bahasa Bugis Lontarak, itulah yang digunakan dalam Sureq I La Galigo,” kata Salim suatu waktu.
Dia mencontohkan, kata “jika” dalam Bahasa Bugis dikenal beberapa kata yang artinya sama. Seperti “rekko”, “nakko”, “yakko” dan “neirikkua”. “Semua itu artinya ‘jika’ atau ‘kalau’. Tapi dalam lontarak, yang dipakai adalah ‘Neirikkua’,” tambahnya. Di Leiden, Salim menghabiskan waktu hampir dua bulan. Meski seluruh biaya hidupnya selama di Leiden ditanggung oleh pihak Kerajaan Belanda, kerja Salim tetap saja tidak mudah. Bagaimana tidak, sekitar 200 lembar lontarak sudah rusak parah. Mikrofilm yang dipakai untuk memperjelas huruf-huruf yang sudah berusia lebih 1,5 abad itu pun sudah tidak terlalu banyak membantu. Akhirnya, pihak perpustakaan melakukan autopsi huruf. Saat itu, Salim memperkirakan terjemahan akan memakan 1500 lembar kertas folio. Salim lalu kembali ke Makassar dengan membawa kopian Sureq.
Namun betapa terkejutnya Salim saat menghitung kembali jumlah lembar yang akan dihabiskan dalam proses penerjemahan. Perkiraannya saat di Leiden ternyata meleset. Bukan 1500 lembar, tetapi 3000 lembar. Dengan hitung-hitungan normal 300 lembar yang diterjemahkan dalam setahun, itu berarti Salim membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun untuk merampungkan terjemahan seluruh 3000 halaman tersebut.
“Saat itu kan masih pakai mesin tik. Jadi prosesnya menjadi sangat lama. Beda dengan sekarang yang sudah dibantu dengan mesin komputer,” tutur suami Hj Jamiah ini.
Pihak perpustakaan Leiden tak kalah terkejutnya. Bagi mereka, 10 tahun itu waktu yang sangat lama. Salim pun berjanji akan mencoba semampunya untuk mempersingkat waktu penerjemahan. Sejak saat itu, Salim yang saat itu tercatat sebagai PNS mulai menjalani misi berat tersebut. Waktu libur harus dia lupakan. Salim akhirnya menuntaskan misi yang dimulainya pada 1 Oktober 1988 itu. Dia berhasil menyelesaikan seluruh 3000 lembar terjemahan pada 30 Desember 1994 dalam 12 jilid tebal. “Saya menyelesaikannya dalam waktu lima tahun dua bulan,” kenangnya.
Keberhasilan Salim dalam menerjemahkan manuskrip I La Galigo mulai menarik perhatian kalangan akedemisi. Prof Dr Fachruddin Ambo Enre ikut terlibat dalam penyesuaian Bahasa Indonesia. Setahun kemudian dan atas bantuan Kerajaan Belanda, jilid pertama I La Galigo diterbitkan dalam bentuk buku setebal 575 halaman. Buku dengan sampul kapal Phinisi yang dicetak sebanyak 1000 ekslampar oleh Universitas Hasanuddin. Untuk buku yang setebal kitab itu, harga jualnya hanya Rp 10.000 per ekslampar.
Pada tahun 2000, jilid kedua I La Galigo kembali diterbitkan. Lagi-lagi atas bantuan dari Kerajaan Belanda. Buku jilid kedua ini setebal 611 halaman dan dijual Rp 65.000. Namun nampaknya hanya 2 jilid inilah yang dapat dipersembahkan salah satu putra terbaik Sulawesi Selatan ini, karena beliau telah di panggil Sang Khalik lebih cepat di usianya ke-75. Mudah-mudahan segala amal ibadah beliau di terima disisi-Nya, Amin. Dan semoga saja ada putra Sulawesi Selatan selanjutnya yang meneruskan karya beliau dalam mengerjakan jilid-jilid I Lagaligo selanjutnya hingga selesai.

Seni & Budaya Kampung Bugis Bulukumba

Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang, bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70 kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan, maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon “Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi, berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang tarifnya paling minim Rp 2 juta.
Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang menyiapkan baju pengantin dan beberapa perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau kemudian sebagian masyarakat mengejek dan mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu penting, bahkan mencakup hampir semua sendi kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu. Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena mereka konon adalah penasehat sekaligus turut mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,” katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa. Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme. Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan. Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat) memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama, melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa, pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir, ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan – sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003, menjalani masa magang selama empat tahun. Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan, tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu bissu yang hanya beredar di kalangan mereka. Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat tentang adanya waria yang akan datang magang di rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian. Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti umumnya waria muda lain. Penampilan harus senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka kian hari kian menurun. Sebagai pendamping komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu mete, mangga, lontar serta persawahan. Di kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu, fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat. Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja. Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur. Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih. Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis, dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah. Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi, sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur. Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji. “Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap orang harus mencicipi makanan yang terhidang. Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak ada keinginan muluk lainnya.
Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang, ‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan? Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara itu semacam demonstrasi kekebalan dengan menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit, bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja, namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama, sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan mendalami agama lebih serius. Mereka semakin menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon, tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel, bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku, karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks. Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan. “Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu. Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri. Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu, terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya “khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus berhubungan seks, namun melalui proses spiritual. “Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini sudah tidak ada yang mempelajarinya.


Massaung manuk adalah penamaan orang Bugis untuk sebuah permainan yang  dalam bahasa Indonesia berarti sabung ayam. Massaung manuk dahulu hanya dilakukan para raja dan bangsawan Bugis pada pagi atau sore hari untuk memeriahkan pesta-pesta adat seperti: pelantikan raja, perkawinan, dan panen raya. Konon, permainan ini bermula dari kegemaran para raja yang sering mempertarungkan pemuda-pemuda di seluruh wilayah kerajaannya untuk mencari tubarani-tubarani (pahlawan) kerajaan yang akan dibawa ke medan pertempuran. Jadi, pada waktu itu yang disabung bukanlah ayam melainkan manusia. Namun, lama-kelamaan, mungkin karena semakin jarangnya terjadi peperangan antarkerajaan, pertarungan antarmanusia itu berubah menjadi pertarungan antarayam yang dinamakan massaung manuk.
Pada waktu itu permainan tidak hanya dilakukan di dalam sebuah kerajaan, tetapi juga antarkerajaan yang tujuannya tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga sebagai ajang adu prestasi, gengsi dan perjudian. Pemilik yang ayamnya selalu menang akan dianggap sebagai orang yang berhasil melatih ayam aduannya, dan kedudukannya akan dipandang lebih tinggi di kalangan para pengadu ayam. Kemudian, ayam aduan yang selalu menang dalam pertarungan akan menjadi “maskot” kerajaan sebagai lambang keberanian. Nama pemiliknya pun akan dikenal oleh seluruh penduduk, baik di dalam maupun di kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan, ketika itu banyak pahlawan Bugis yang sering menggunakan julukan yang sama seperti nama-nama ayam yang terkenal di daerahnya masing-masing, misalnya, I Segong Ri Painaikang, Buleng Lengna Lantebung, Cambang Toana Labbakang, Korona Jalanjang, Campagana Maccinibaji dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya, permainan yang disebut sebagai massaung manuk ini tidak hanya dimainkan oleh kaum bangsawan saja, melainkan juga oleh oleh rakyat jelata. Permainan juga dapat dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu adanya pesta-pesta adat terlebih dahulu. Saat ini permainan massaung manuk dilarang oleh pemerintah, disamping karena lebih menekankan pada motif perjudian, juga dianggap terlalu kejam dan merendahkan martabat manusia. Padahal, bagi masyarakat “tradisional” Bugis, menganggap bahwa sesuatu yang berlaga hingga mengeluarkan darah, dipercaya akan menambah keberanian dan kesaktian.
2. Pemain
Jumlah pemain massaung manuk tidak dibatasi. Namun, untuk satu kali pertandingan hanya diikuti oleh dua orang peserta karena ayam yang akan diadukan harus satu melawan satu. Massaung manuk hanya dimainkan oleh laki-laki, dari usia remaja hingga orang dewasa (tua).
3. Tempat Permainan
Permainan massaung manuk dapat dilakukan di mana saja, asalkan memiliki arena yang berbentuk lingkaran atau persegi empat seluas sekitar 5 x 5 meter. Jadi, bisa di pekarangan rumah maupun lapangan. Permainan ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari.
4. Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini adalah: ayam, taji, dan kayu bercagak. Ayam yang akan diadu bukan sembarang ayam, tetapi ayam jantan yang dinilai kuat, besar dan tangguh dalam bertarung. Ayam-ayam yang telah dipilih menjadi ayam-aduan biasanya akan dirawat dengan sangat baik. Adakalanya ayam-ayam ini dimantrai atau dijampi-jampi agar dapat mengalahkan lawannya. Taji adalah senjata yang diikatkan pada kaki ayam agar serangannya efektif dan mematikan. Alat ini terbuat dari logam dan berbentuk runcing menyerupai keris atau badik kecil. Kayu bercagak pada saatnya akan diselipkan di leher ayam yang kalah untuk dipatuk oleh ayam yang menang.
5. Aturan Permainan
Peraturan permainan massaung manuk tergolong sederhana, yaitu apabila dua ekor ayam jantan diadukan dan salah satu diantaranya kalah atau mati, maka ayam yang dapat mengalahkannya dinyatakan sebagai pemenang.
6. Proses Permainan
Permainan dimulai dengan pengundian untuk menentukan ayam siapa saja yang nantinya mendapat giliran untuk bertarung. Setelah urutan peserta yang ayamnya akan bertarung ditetapkan, maka bagi yang mendapat giliran pertama akan memasukkan ayamnya ke dalam arena. Kemudian, ayam-ayam
tersebut oleh pemiliknya akan dipasangi sebilah atau dua bilah taji, bergantung kesepakatan para pemilik ayam. Orang Bugis menyebut pemasangan taji ini sebagai rinrelengngi, sedangkan orang Makassar menyebutnya nibulanggi. Setelah itu, ayam diadu sampai ada yang kalah atau mati. Pada saat kedua ayam berlaga, penonton bersorak-sorai menyemangati ayam yang dijagokannya. Sementara, pemilik ayam berkeliling, menyemangati ayamnya dengan teriakan, dan sekaligus  mengawasinya (berjaga-jaga). Ayam yang “kalah” lehernya akan dijepit dengan kayu bercagak. Kemudian, ayam yang menang harus mematuk kepalanya sejumlah tiga kali. Jika ayam yang ?menang? itu tidak dapat mematuk sejumlah tiga kal, maka permainan dianggap seri.
7. Nilai Budaya
Walaupun pemerintah dan sebagian masyarakat Bugis menganggap bahwa permainan massaung manuk bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, namun lepas dari masalah itu sesungguhnya permainan ini mempunyai nilai yang sangat berguna dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kreativitas dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari perawatan ayam aduan yang dilakukan dengan sangat baik melebihi perawatan ayam-ayam biasa yang bukan aduan. Disamping merawat, pemilik ayam juga harus melatih ayam aduannya agar semakin lihai dalam bertarung. Nilai kreativitas tercermin dari cara-cara yang dilakukan oleh pemilik ayam dalam memilih ayam aduan yang baik dan dalam menggunakan peralatan-peralatan khusus (taji) agar ayamnya dapat menang secara cepat dan efektif. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada ketika ayamnya kalah atau mati.


Dalam artikel Prinsip Kepemimpinan Politik Manusia Bugis Kasman Dg. Matutu disebutkan bahwa seorang yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1) niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.
Pertama, niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong. Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Dalam Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).
Bila seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang pemimpin Bugis.
Sebagai contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng. Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.
Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.
Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda.
Penegakan rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” .
Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.


Hampir di seluruh pesisir pantai di pelosok nusantara akan ditemukan komunitas orang Bugis. Mereka hadir di daerah tersebut menjadi perantau (pasompe). Budaya pasompe jika ditelusuri dalam jejak sejarah yang teramat panjang, akan ditemukan fakta yang menyebutkan kalau migrasi secara besar-besaran orang dari Tana Bugis ke sejumlah nusantara bermula sekitar awal abad XV.
Orang Bugis Perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli. Para Bugis Perantau itu kemudian mengenal adanya istilah tellu cappa (tiga cappa),  dalam melakukan proses adaptasi dengan penduduk yang didatangi.
Pertama menggunakan cappa lila (ujung lidah) disini ditekankan kemampuan melakukan diplomasi. Jika diplomasi dianggap tidak mempan maka dilakukan langkah kedua cappa laso (ujung kemaluan), orang Bugis melakukan proses perkawinan dengan penduduk asli. Kalau pada akhirnya kedua ujung itu tidak mempan, maka ditempuhlah jalan terakhir menggunakan cappa kawali (ujung badik).
Buku ini termasuk salah satu studi cukup mendalam soal migrasi orang Bugis dengan mengambil kasus Bugis Perantauan asal Wajo di Johor Malaysia. Sejarah migrasi orang Bugis selain karena faktor ekonomi juga karena peperangan. ‘’ … migrasi keluar Sulsel berkaitan erat dengan peperangan sebagai akbiat revitalitas antar kerajaan memperbutkan hegemoni, dalam hal ini maka migrasi pada hakikatnya adalah produk perang dan proses sosial ‘’ hal 136.
Tradisi pasompe telah berlangsung pada kurun waktu sekitar 500 tahun lalu, bermula dari Perang Makassar melawan VOC. Kerajaan yang bersekutu dengan Makassar banyak memilih tinggalkan daerah. Selain faktor perang, para pasompe itu karena faktor siri serta hal prinsip menyangkut kebebasan dan kemerdekaan.
Salah seorang Bugis Perantauan yang tiba di Johor awal abad XVII adalah Opu Daeng Rilakka bersama dengan lima orang putranya yakni; Opu Daeng Parani; Opu Daeng Manambung; Opu Daeng Marewa; Opu Daeng Calla serta Opu Daeng Kamase.
Kelima satria Bugis ini menurut Andi Irma Kesuma, memberi  warna perjalanan pemerintahan di Kesultanan Johor sampai hari ini. ‘’ Dinasti Opu Dg Rilakka masih berlangsung sampai hari ini. Dan tidak dapat dipungkiri Yang Dipertuan Agung Persekutuan Malaysia 1988 yang dipangku Sultan Ismail yang sedang menjadi Sultan Johor adalah turunan ke-7 Opu Daeng Parani ‘’ hal 127.
Menurut Andi Irma yang juga putrid kelahiran Wajo 1964, Daeng Rilakka masih merupakan turunan ke-2 Arung Matoa Wajo ke-44 La Oddang Datu Larompong, ke-3-Datu Luwu ke-32 Iskandar Opu Daeng Pali, ke-4 Datu Soppeng ke-33 Tolempengang ke-6 Mangkaue Bone ke-22 La Temmasonge, ke-7 Somba Gowa ke-19 Sultan Jalil .
Membaca buku ini membawa kita ke pengembaraan masa lalu guna mencari titik pertemuan yang dapat diambil hikmahnya di masa kini. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak serta Musa Hitam pada salah satu kunjungan kerja ke Sulsel sempat mencari tanah leluhurnya. Buku terbitan Ombak ini cocok menjadi bahan referensi untuk studi manusia Bugis. (Moh Yahya Mustafa).






Judul Buku : Migrasi & Orang Bugis
Penulis : Andi Ima Kesuma
Pengantar : Dr.Anhar Gonggong
Penerbit : Ombak Jokyakarta 2004
Halaman : xviii + 170


Ide tulisan ini berasal dari seorang penulis bernama Kasman Dg. Matutu yang menulis artikel Prinsip Kepemimpinan Politik Manusia Bugis. Dimana dalam tulisan tersebut banyak bercerita tentang konsepsi kepemimpinan yang dibentuk oleh local wisdom dalam hal kepemimpinan yang menyediakan banyaknya prinsip-prinsip dasar yang dapat diapresiasi secara lebih serius dalam upaya mengkonstruksi model kepemimpinan politik nasional. Dari local wisdom, dapat ditemukan semacam kearifan budaya yang demikian kuat membentuk kultur kepemimpinan lokal.
“Jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”
Bugis sebagai salah satu lokalitas yang membangun kebhinnekaan budaya Indonesia juga memiliki seperangkat local genious (kecerdasan lokal) yang dipraktekkan dalam kehidupan kultural mereka. Dalam local genious Bugis tersebut dapat pula ditarik beberapa prinsip dasar kepemimpinan politik manusia Bugis.
Dalam hal kepemimpinan, maka hal mendasar yang ditekankan untuk diperhatikan dalam khazanah kearifan lokal Bugis adalah manusianya. Bagaimana kualitas seseorang yang akan menjadi pemimpin. Dalam Lontara Pappaseng To Riolota disebutkan sebuah pepatah Bugis, ”Duami kuala sappo, Unganna Panasa’e, Belo Kanukue” (dua hal yang kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku).
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut ”lempu” yang berasosiasi dengan kata jujur. Sedangkan hiasan kuku ditulis dengan kata ”pacci” yang dalam bahasa Bugis juga bisa terbaca ”paccing” yang bermakna bersih dan suci. Jadi ada dua kualitas manusia yang pantas diangkat menjadi pagar atau penjaga bagi manusia lain, yaitu manusia yang jujur serta bersih dan suci.
Hanya manusia yang jujur serta bersih dan sucilah yang pantas diangkat jadi pemimpin. Dengan kejujurannya, maka orang tersebut tidak akan melalaikan amanah, dengan kebersihan dan kesucian hatinya, dia tidak akan berbuat dzalim terhadap rakyatnya.
Dalam pesan yang lain, ditemukan bahwa masyarakat Bugis akan menerima seorang pemimpin yang memenuhi karekter berikut, Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.
Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.
Lebih lanjut, dalam Lontara Sukku’na Wajo disebutkan beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi masyarakat Bugis, yaitu :
  1. Jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sesamanya manusia;
  2. Takut kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya;
  3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang dengan baik, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat pemerintah dan rakyatnya;
  4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya;
  5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendengar berita buruk (kritik) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan);
  6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat pemerintahan;
  7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya;
  8. Jujur dalam segala keputusannya.
Nah, jadi saat ini sudah adakah pemimpin yang ideal dan sesuai dengan konsepsi masyarakat bugis? Maybe yes, maybe no. Mungkin ada seorang figur pemimpin yang sudah ideal menurut persepsi Anda. Namun, jangan terlalu jauh melangkah untuk mendapatkan figur pemimpin ideal di kancah nasional. Alangkah bagusnya, kalau Pemimpin Ideal yang sesuai dengan konsepsi Masyarakat Bugis adalah Pemimpin-pemimpin bangsa yang berasal dan besar di Tanah Bugis. Amin.

Setidak-tidaknya menjelang akhir abad kesembilan belas, ciri-ciri pribadi merupakan suatu pertimbangan penting, tidak hanya dalam penunjukan para penguasa dan pemimpin, melainkan juga dalam pengabsahan status sosial lewat perkawinan. Kedudukan sosial seseorang ditetapkan oleh siapa yang bisa dikawini olehnya sendiri ataupun oleh anak lelakinya. Di beberapa kerajaan, terutama Wajo, seseorang yang kedudukan kelasnya secara formal tidak cukup tinggi dapat membeli (lewat pembayaran kepada keluarga pengantin wanita) derajat kemurnian darah untuk memungkinkan dilangsungkannya perkawinan. Apabila dimiliki keluwesan semacam itu, tidak hanya keturunan tetapi kualitas pribadi orang tersebut tentu bakal dipertimbangkan, khususnya kedudukan dan kekayaannya. Dikatakan bahwa anak-anak perempuan bangsawan dapat saja kawin dengan cendekiawan, orang kaya, pahlawan (serdadu), atau ulama, sebab dalam keadaan bahaya raja toh membutuhkan kebijaksanaan dari kaum cendekiawan, kekayaan dari orang kaya, keberanian dari para serdadu, dan doa dari alim ulama.
Jadi, itu bukan suatu sistem kelas yang sama sekali tertutup. Secara relatif adalah mudah bagi seorang perempuan untuk menaikkan derajatnya lewat perkawinan (dan keluarganya ikut menikmati kenaikan prestise ini sampai batas tertentu), tetapi seorang laki-laki dapat meningkatkan statusnya hanya dengan mendapatkan kedudukan atau kekayaan lewat usahanya sendiri. Kompetisi, yang merupakan ciri khas dari suatu masyarakat yang berorientasikan prestasi, dengan demikian ternyata hadir juga dalam apa yang secara sepintas lalu tampak sebagai suatu masyarakat yang dihubungkan dengan status. Orientasi pada prestasi ini dicerminkan dalam karakterisasi kepribadian pria yang dikehendaki yaitu bercita-cita tinggi, mempunyai daya saing, agresif, bangga, berani, dan sadar akan status. Orang semacam itu dipandang mampu untuk berhasil dalam masyarakat dan untuk meningkatkan prestise dan kedudukannya sendiri serta kelompok keluarganya.
Usaha seorang laki-laki untuk meningkatkan status sosialnya akan terancam oleh setiap penurunan status dari seorang sanak keluarga wanita, misalnya kalau seorang saudara perempuannya kawin dengan seseorang di bawahnya. Dengan demikian, perkawinan sudah diatur dengan seseorang yang sesuai yaitu ketika sang gadis masih sangat muda, seringkali malah baru berumur tiga belas atau empat belas tahun. Gadis diharapkan bersikap halus, pemalu dan penurut. Mereka dilindungi terhadap hubungan dengan orang lak-laki di luar keluarga dekatnya. Juga, dianggap tidak layak bagi seorang perempuan untuk berada sendiri dengan seorang laki-laki yang bukan keluarga dekatnya. Kejadian semacam itu membawa malu kepada keluarga, dan kalau orang perempuan itu bermartabat, dianggap membawa bencana bagi kerajaan. Kemudian menjadi kewajiban orang laki-laki yang terhina, khususnya saudara laki-lakinya, untuk membalas dengan membunuh orang yang bersalah itu. Kalau perempuan tersebut belum kawin, rasa malu dapat dihindari hanya kalau pasangan itu dapat dikawinkan secara resmi. Suatu upacara perdamaian dengan keluarga pihak wanita dapat diselenggarakan, sebelum pasangan yang malang itu tertangkap dan dibunuh.
Dalam suasana persaingan dan balas dendam ini, tidak mengherankan kalau orang-orang Bugis dan Makassar seringkali digambarkan berwatak panas, keras kepala, sombong, dan sukar diatur.


Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pemali” yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.
Bentuk-bentuk Pemmali
Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.
Pemmali Bentuk Perkataan
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja (buaya) dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.
Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan
Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.
Beberapa contoh pemmali dan maknanya:
Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui (Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).
Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.
De’ nawedding ana’ daraE matinro lettu tengga esso nasaba’ labewi dalle’na (Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu).
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.
Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata
(Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).

Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.
Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).
Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.
Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal).

Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.
Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri (Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).

Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.
Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq (Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.
Berdasarkan beberapa contoh yang dipaparkan di atas, pemmali dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian, yaitu menurut jenis kelamin, usia, atau bidang kegiatan. Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.

Sebelum masyarakat bugis mengenal islam mereka sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), To-Palanroe (sang pencipta) dan lain-lain.
Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa–dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk–petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa–dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit/kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada. (Kambie, 2003).
Istilah Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya “Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam Lontara Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE” merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis–Makassar. (Abidin, 1979 : 12 dan 59).
Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kepercayaan Patuntung, lihat : Martin Rossler, “Striving for Modesty : Fundamentals of The Religion and Social Organization of The Makassarese Patuntung”, dalam BKI deel 146 2 en 3 en aflevering, 1990 : 289 – 324 dan WA Penard, “De Patoentoeng” dalam TBG deel LV, 1913 : 515 – 54.
Gervaise dalam “Description Historique du Royaume de Macacar” sebagaimana dikutip Pelras (1981 : 168) memberikan uraian tentang agama tua di Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Mereka tidak mempunyai rumah suci atau kuil. Upacara sembahyang dan Kurban–kurban (Bugis : karoba) khususnya diadakan di tempat terbuka. Matahari dan Bulan diberi kedudukan yang penting pada hari-hari “kurban” (esso akkarobang) yang selalu ditetapkan pada waktu Bulan Purnama dan pada waktu Bulan mati, karena itu pada beberapa tempat yang sesuai disimpan lambang-lambang Matahari dan Bulan. Tempat ini dibuat dari tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas (Pelras, 1981 : 169).
Selain menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya. (Martinus Nijhoff, 1929, 365-366).
Kepercayaan lama yang sudah mengakar kuat bagi masyarakat Bugis memang berusaha dicarikan padanannya dalam ajaran Islam. Untuk merukunkan kedua kepercayaan itu, menurut Dr. Christian Pelras, penyiar agama Islam berusaha mengembangkan dalam kalangan istana suatu aliran mistik Bugis kuno dengan Tasawuf Islam. Hasil perpaduan dua kepercayaan itu, hingga kini masih bisa ditemukan dalam sejumlah naskah. Seperti yang telah dibicarakan oleh G Hamonic, dimana “Dewata SeuwaE’ PapunnaiE” (Dewata Tunggal yang Mempunyai kita) telah disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa ; “Dewa La Patigana” (Dewa Matahari) dan “Dewi Tepuling” (Dewa Bulan) disebut masing – masing sebagai “Malaikat Matahari” dan “Malaikat Bulan”. Adapun para Dewata dianggap termasuk bangsa Jin dan mitos tentang ’Sangngiang Serri’ sendiri tidak lagi dianggap sebagai “Dewi Padi” melainkan “jiwa padi”. (Kambie, 2003).
Penulis berkebangsaan Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Indonesia pada tahun 1512 – 1515, menyebutkan bahwa di Sulawesi Selatan terdapat sekitar 50 kerajaan yang masyarakatnya masih menyembah berhala. Salah satu bukti bahwa beberapa kerajaan di Sulawesi pada waktu itu tidak mendapat pengaruh Hindu tapi masih memiliki adat istiadat dan kepercayaan leluhur yang kuat, ialah dengan cara penguburan. (Nugroho Notosusanto, et.al, 1992). Praktek penguburan pada masyarakat Bugis Makassar pada waktu itu masih mengikuti tradisi pra-sejarah, yaitu jenazah dikubur mengarah timur–barat dan pada makamnya disertakan sejumlah bekal kubur seperti mangkuk, cepuk, tempayan, bahkan barang–barang impor buatan China, tiram, dan lain sebagainya. Juga dalam cara penguburan ini terdapat kebiasaan untuk memberi penutup mata (topeng) dari emas atau perak untuk jenazah bangsawan atau orang – orang terkemuka. (Pelras, 1972 : 208-210).
Macknight (1993 : 38) menyebutkan bahwa Penelitian arkeologi maupun berita Portugis melaporkan bahwa orang Bugis Makassar pada masa pra-Islam mempraktekkan penguburan kedua (sekunder), sebagaimana yang masih dipraktekkan orang Toraja sampai pada awal Abad XX dengan menggunakan gua-gua sebagai tempat penguburan. Raja dan bangsawan seluruh negeri Bugis, Makassar, bahkan termasuk Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan mengklaim diri mereka punya garis keturunan dengan Dewa–dewa melalui Tomanurung yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti yang ada. Mitos ini berkaitan dengan pandangan teologis (theology view) bahwa Dewata Seuwae’ melahirkan sejumlah Dewata (Rewata), yang merupakan asal usul Tomanurung, yang juga merupakan asal-usul seluruh penguasa dinasti di semenanjung Sulawesi Selatan. Mitos ini sangat kuat dipercayai dan tak tergoyahkan. (Kambie, 2003).
Dilihat dari perjalanan sejarahnya, masyarakat Bugis dikenal sebagai masyarakat yang sangat kuat berpegang pada kepercayaan lama yang bersumber dari Kitab La Galigo. Meskipun Islam sudah menjadi agama resmi Masyarakat Bugis namun Kepercayaan–kepercayaan lama itu masih mewarnai keberislaman mereka. Hal ini tercermin lewat berbagai ritual dan tradisi yang masih bertahan hingga kini. DGE Hall (Badri Yatim, 1996 : 211-212) mengungkapkan bahwa terlambatnya Islam diterima di Sulawesi Selatan, disebabkan kuatnya masyarakat Bugis Makassar berpegang pada adat dan kepercayaan lama. Menerima Islam, menurut mereka, akan berimplikasi pada perubahan budaya yang mendalam. Pada beberapa aspek tertentu, kepercayaan leluhur Bugis Makassar yang bersumber dari ajaran Sure’ Galigo dapat pula disebut agama karena menganjurkan penganutnya dan dalam kepercayaan tersebut terdapat berbagai aturan dan tata cara, yang dilakukan sebagai bentuk pengabdian dan penghambaan diri terhadap Sang Maha Pencipta (PatotoE). (Kambie, 2003 : 68).
Menurut Pelras (1981 : 17), Orang Bugis–Makassar itu baru masuk Islam setelah berhubungan selama 120 tahun dan selama itu mereka menolaknya. Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa Islam sudah dibawa oleh para pedagang Melayu di sekitar Abad XV, namun baru bisa menjadi agama resmi kerajaan, agama penguasa dan rakyatnya di penghujung akhir Abad XVII. Pelras juga menegaskan bahwa kesetiaan terhadap kepercayaan lama merupakan salah satu faktor penolakan Islam, sehingga butuh proses lama untuk merubah pandangan dan kepercayaan tersebut.
Pada saat pertama mengenal Islam, Raja-raja di Sulawesi Selatan khawatir dengan kehadiran Islam akan membahayakan aturan sosial dan kekuasaan mereka, khususnya terkait mitos Tomanurung. Dengan menganut Islam, berarti tidak ada lagi pembedaan status sosial berdasarkan keturunan, kebangsawanan atau kelahiran. Dalam pandangan Agama Islam, semua manusia sama kedudukannya dihadapan Tuhan, kecuali mereka (orang islam) yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Dimata orang Bugis, Badik atau dalam bahasa bugis disebut Kawali bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri, namun setiap jenis badik dipercaya memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipandang sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Kawali orang Bugis pada umumnya memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, disamping itu ada juga kawali dari bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat (ure‘) yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.
Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.
Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Bugis mengenai badik “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.
Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
Badik/kawali yang bagus/istimewa dapat dilihat dari beberapa unsur, yakni:
a. Dari segi fisik Badik/kawali dapat dilihat:
Bahan bakunya terbuat dari besi dan baja pilihan biasanya mengandung meteorit dan ringan. Wilayah Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu terkenal dengan besi luwu yang berkualitas tinggi.
Pamor;ragam pamor pada Badik/kawali lebih sederhana dari dari keris jawa biasanya terdiri dari jenis pamor kurrisi, laso ancale, parinring, bunga pejje, maddaung ase, kuribojo, tebajampu, timpa laja dan balo pakki.
b. Segi sisi’(tuah)/mistik antara lain:
  1. Uleng puleng dan battu lappa; sebenarnya merupakan kandungan meteorit. Bagi sebagian orang percaya Badik/kawali yang mempunyai ulengpuleng(kalau kecil)/battu lappa (kalau besar) akan membawa kebaikan pada pemiliknya baik berupa kemudakan rezki, karisma, maupun peningkatan karir. Posisi ulengpuleng/battulappa yang dicari adalah yang terletak dipunggung badik kira-kira berjarak 5 cm dari hulu/pangulu karena dipercaya akan memudahkan rezki dan karir. Badik/kawali yang memiliki ulengpuleng dan battulappa juga dipercaya dapat menghindari gangguan mahluk halus, sihir dan tolak bala.
  2. Mabelesse; adalah retakan di atas punggung Badik/kawali sehingga seakan-akan Badik/kawali tersebut akan terbelah dua. Badik seperti ini dipercaya akan memudahkan rezki bagi pemiliknya sehingga banyak dicari oleh yang berprofesi sebagai pedagang.
  3. Sumpang buaja; sama seperti mabelesse Cuma retakannya pada bilah dekat ujung Badik/kawali. Tuahnya sama seperti mabelesse namun yang dicari yang letaknya pada bilah sebelah kanan dekat ujung Badik/kawali.
  4. Ure tuo; adalah garis yang muncul pada bilah Badik/kawali. Yang dicari adalah yang tidak terputus-putus, kalau letaknya dipunggung Badik/kawali dan tidak terputus dari hulu sampai ujung tuahnya membuat sang pemilik disegani dan dituruti semua perkataannya, kalau melingkar ke atas dari bilah ke bilah sebelahnya seperti badik luwu sambang maka tuahnya untuk melindungi pemiliknya dari malapetaka dan kalau turun ke baja maka untuk memudahkan rezki.
  5. Tolongeng; adalah lubang pada punggung Badik/kawali yang tembus ke bawah terletak dekat hulu/pangulu sehingga kalau dilihat seakan seperti teropong. Pada zaman dahulu sebelum berangkat perang biasanya panglima perang meneropong pasukannya melalui Badik/kawali tolongeng.
  6. Sippa’sikadong; adalah retakan pada tengah bilah Badik/kawali dari punggung Badik/kawali. Tuahnya adalah membuat pemiliknya disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Pada zaman dahulu apabila ada seseorang akan melamar gadis, maka utusan dari laki-laki akan membawa Badik/kawali sippa’sikadong yang bertujuan agar memudahkan lamarannya diterima pihak perempuan
  7. Pamussa’; adalah upaya memperkuat daya magis Badik/kawali yang diletakan dalam hulu/pangulu Badik/kawali. Biasanya dengan menggunakan bahan-bahan tertentu tergantung akan digunakan untuk apa Badik/kawali yang akan di beri pamussa.
  8. Pangulu; di kalangan masyarakat bugis Bone berkembang suatu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki sebagian orang yang mampu membuat pihak lawan tidak mampu mencabut Badik/kawali ketika akan digunakan, ilmu ini dikenal dengan istilah pakuraga/pabinrung. Pangulu yang caredo (terbelah/atau memiliki mata) secara alami dipercaya mampu mengatasi orang yang memiliki ilmu tersebut.
Demikian sekilas mengenai mistik di sekitar badik, tulisan ini tidak bermaksud mengajarkan kita untuk menjadi musyrik kepada Allah SWT, tetapi lebih untuk mengenal kebudayaan masyarakat bugis.

Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa. Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan bahwa:
Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia’ akkatta madécéng mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé
Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut:
Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga:
Patarakkai mai bélo tudangeng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudang mappacci siléo-leo
Riwenni tudang mpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottinngngé
Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng
Ungkapan ini berarti:
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
• Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
• Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
• Di atas bnatal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
• Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan.
• Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
• Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.
• Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat.
Pelaksanaan
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang.
Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut:
Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok.
Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam.
Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara.

Di kalangan orang Bugis, sejak zaman dahulu lontara’ mempunyai peranan yang penting sekali dalam kehidupannya, karena lontara’ mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi yang menjadi pedoman hidup dan kehidupannya.
Lontara’ adalah suatu karya sastra orang Bugis yang sudah memasyarakat di tengah-tengah masyarakat Bugis sejak zaman dahulu. Lontara’ mempunyai sifat-sifat tertentu yang perlu diketahui dan diperhatikan. Untuk memahami lontara’ perlu pengetahuan khusus, karena lontara’ juga merupakan naskah sastra budaya yang mempunyai sifat-sifat tertentu sebagaimana sastra budaya bahasa-bahasa lain.
Penulisan lontara’ sudah dilakukan sejak zaman dahulu sedang pencetakannya sudah dilakukan oleh pemerintah Belanda pada pertengahan abad yang lalu. Namun hasil tulisan dan cetakan itu sudah sukar didapati lagi. Hal ini disebabkan karena sudah mengalami pelapukan dan kehancuran setelah dimakan zaman. Lain lagi halnya karena dianggap keramat yang sukar dipinjam dan dibaca. Bahasanyapun sukar dipahami atau dimengerti karena bahasanya bahasa lama dengan aksara lontara’ klasik.
Jenis-jenis lontara’ di Sulawesi Selatan antara lain : Lontara’ Pappaseng (kata bijak), Paggalung (pertanian), Surek-surek, Pattaungeng (catatan harian), Adek (adat), Uluada, Allopi-loping (pelayaran), Pangoriseng (silsilah), Attoriolong (kebiasaan orang-orang dulu), Pau-pau Rikodong, Pangaja dan lain-lain sebagainya. Isi lontara’ antara lain mengandung aspek budaya yang terdiri atas beberapa aspek budaya: sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan tehnik, kesenian dan filsafat).

Salah satu tarian khas Bugis adalah tarian Ronggeng Bugis. Beberapa tahun terakhir ini tarian Ronggeng Bugis sudah jarang dipertunjukkan dan mulai terlupakan oleh masyarakat Bugis sendiri.
Tariang Ronggeng Bugis sebenarnya punya sejarah sendiri yaitu pada jaman Sunan Gunung Djati, untuk menyelidiki kekuatan musuh yang melawan, Sunan Gunung Djati mengirimkan grup kesenian Ronggeng Bugis atau Tari Telik Sandi atau mata-mata untuk menyelidiki Kerajaan Pakuan Padjajaran. Ternyata tari kesenian tersebut berhasil memberikan informasi kepada Sunan Gunung Djati.
Ronggeng Bugis atau Tari Telik Sandi, adalah tertunjukan tari komedi yang diperankan oleh laki-laki dengan memakai busana wanita. Meski ditarikan oleh laki-laki, gerakan tari Ronggeng Bugis gemulai seperti gerakan tari wanita. Tari-tarian ini biasa dimainkan oleh 12 hingga 20 orang dengan satu seorang komandan tari.
Asal mula tari Ronggeng Bugis, dilatarbelakangi ketegangan yang terjadi antara kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Islam. Sunan Gunung Djati yang Raja Cirebon saat itu menyuruh seorang kerabat kerajaan yang berasal dari Bugis untuk memata-matai atau telik sandi Kerajaan Pajajaran.
Upaya yang dilakukan dengan membentuk grup kesenian, dengan cara bebarang atau ngamen dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh Raja Cirebon, kesenian tradisonal yang digunakan untuk menjadi mata-mata dinamakan Ronggeng Bugis.
Selama mengintai di Kerajaan Pajajaran, dengan membawa grup kesenian Ronggeng Bugis atau Tari Telik Sandi teryata banyak mendapat hasu. Yaitu banyak informasi rahasia Kerajaan Pakuan Pajajaran, berhasil disadap oleh Kerajaan Islam Cirebon.

Poppo’ atau ada juga yang menyebutnya Peppo’ menurut kepercayaan orang di tanah bugis adalah sejenis siluman perempuan yang bisa terbang. Ada sebuah kisah tentang poppo yang konon pernah terjadi di sebuah kampung. Suatu hari, Puang Imang bersama semua keluarganya meninggalkan rumahnya karena seorang keluarganya mengadakan pesta pernikahan di daerah lain. Malam harinya, rumah Puang Imang dimasuki oleh poppo yang, sekali lagi, konon ingin mencuri. Setelah barang-barang yang mau dibawa pergi telah dibungkus dengan sarung, poppo itu tak bisa keluar dari rumah Puang Imang. Katanya, menurut pengakuan poppo itu, ia melihat dirinya dikepung air—seperti laut yang tak memiliki pantai.
Setelah Puang Imang kembali, ia menemukan poppo telah berubah wujud menjadi seorang perempuan cantik berambut panjang telanjang berdiri di ruang tengah rumahnya. Ternyata rumah Puang Imang, sebelum ditinggalkan, telah disappo (dipagari) dengan baca-baca (mantera) sehingga poppo itu tak bisa keluar. Poppo itu kemudian diberi sehelai pakaian oleh istri Puang Imang dan dibiarkan pergi. Namun sebelumnya untuk membuat perempuan itu jera, rambut panjangnya dipotong nyaris habis.
Poppo menurut kepercayaan orang bugis selain dikenal sebagai hantu pencuri juga suka mengisap darah, utamanya perempuan yang sedang melahirkan. Poppo dipercaya juga suka berada di kebun jagung atau kebun di mana banyak buah-buahan. Kesukaan poppo berada di pohon yang berbuah itu kadang digunakan oleh orang (yang berani) di musim mangga berbuah. Poppo yang ‘hinggap’ di cabang pohon mangga akan menjatuhkan buah-buah mangga matang sesuai permintaan sang pemilik.
Tentang parakang, selain suka mengisap anus orang sakit ada beberapa hal menarik lainnya. Jika seorang parakang sedang sekarat menghadapi sakratul maut, ia akan tarus mengulang-ulang kata (l)emba (pindah) sampai ada seorang dari keluarganya yang mengiyakannya. Setelah itu, orang yang mengiyakan itu akan menjadi parakang selanjutnya. Jika menemukan parakang, misalnya dengan wujud pohon pisang, orang dianjurkan untuk memukulnya sekali atau tiga kali saja. Jika sekali pukul dipercaya akan membunuhnya dan tiga kali akan membuatnya cacat. Itulah mengapa perempuan tetangga saya yang pindah itu dianggap parakang karena berjalan seperti orang dengan lutut kesakitan. Menurut orang-orang, suatu malam, perempuan itu tertangkap basah berwujud kambing dan dipukul dengan potongan kayu dilututnya sebanyak tiga kali. Sejak saat itulah ia berjalan dengan cara yang aneh. Dua hantu itu, parakang dan poppo adalah hantu paling populer di kampung kami. Saking populernya sewaktu saya masih anak-anak Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 kami plesetkan menjadi poppo, parakang pakkanre pello (poppo, parakang pemakan rektum).
Poppo dan Parakang bagi orang bugis dipercayai adalah semacam hukuman turun temurun akibat  kesalahan atau pelanggaran nenek moyangnya sehubungan dengan ilmu hitam yang dipelajarinya di masa lampau.

Baju bodo, kita tentu sudah familiar dengan pakaian adat yang satu ini. Baju bodo merupakan pakaian adat masyarakat Bugis-Makassar, terdiri dari berbagai macam warna yang dikenakan oleh perempuan utamanya dalam acara-acara adat seperti acara pengantin dan acara-acara adat yang lain. Tapi sudah tahu belum kalau ternyata perempuan yang memakai baju bodo ini tidak asal memilih warna.
Menurut  orang-orang tua kita, dahulu kala ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo ini. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.
  1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
  2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
  3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
  4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
  5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
  6. Warna ungu dipakai oleh para janda.
Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, utamanya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend. Meskipun demikian, di daerah-daerah tertentu atau kampung-kampung bugis di luar kota yang jauh dari pengaruh budaya luar, baju bodo masih banyak dikenakan untuk acara-acara pernikahan dan acara-acara lain. Baju bodo juga tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi’-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu.

Dari sekian banyak upacara adat yang dilaksanakan di kampung-kampung Bugis terdapat satu upacara adat yang disebut Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.
Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu mabbolo (menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya. Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng (usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang kebanyakan) atau Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan ulereng, dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tanda siame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dan cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama yang umumnya disampaikan sekaitan dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam saja. Sebagai penutup, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji dan dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.
Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembilan sapi. Upacara adat mattampung akan dibahas khusus di artikel kampung bugis selanjutnya.

Dalam budaya masyarakat Bugis ketika sebuah keluarga akan membangun rumah atau pindah ke rumah baru terdapat serangkaian upacara adat yang harus dijalankan, mulai saat persiapan bahan-bahan untuk membangun rumah, ketika rumah akan dibangun/didirikan, lalu ketika rumah tersebut siap untuk ditinggali, bahkan saat rumah tersebut sudah dihuni. Rangkaian upacara adat tersebut adalah sebagai berikut :
Tahap Upacara Makkarawa Bola.
Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan Bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan oleh Panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.
Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang – kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga, yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang, 2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.
Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).
Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas : ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan – bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m, diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti (pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung disimpan di masing–masing tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan / kue–kue seperti suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap Upacara Maccera Bola.
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.