Desember 07, 2011

13 Tahun Hanya Naik Sepeda Kumbang

1303883448309634943
SD Negeri 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba. (Foto: Asnawin)
Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun (1957-1960) sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960 sampai dengan 1 april 1977.
—————————
Kenangan Manis 41 Tahun Jadi Guru di Bulukumba (2):
13 Tahun Hanya Naik Sepeda Kumbang
(41 Years To Be a Teacher in Bulukumba is The Sweetest Memory for Haji Aminuddin)
Oleh: Asnawin
Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960.
Ketika masih mengajar di Kassi Buta, beberapa teman mengajarnya sempat memintanya menikah dengan wanita setempat dan kebetulan ada seorang tokoh masyarakat di desa itu yang menginginkan Aminuddin menjadi menantunya, tetapi ia menolak secara halus karena merasa masih terlalu muda untuk menikah.
Tanpa ia tahu, secara diam-diam rupanya sang ibu, Dekkala Daeng Pute (almh) telah mencarikan jodoh buat dirinya. Sang ibu rupanya tertarik melihat kepribadian seorang gadis bernama Sitti Hasnah yang bersahabat dengan adik kandung Aminuddin yang bernama Besse Daeng Jintu.
”Saya juga biasa lihat dia jalan dengan adik saya, tetapi hanya sebatas itu. Saya tidak tahu kalau ibu saya ternyata tertarik dengan gadis itu dan kemudian melamarnya untuk jadi isteri saya,” kenang Aminuddin yang oleh orangtuanya dipanggil Udding.
Mereka dinikahkan dan melangsungkan pesta perkawinan di Bulukumba pada 14 Desember 1958. Setelah menikah, sang isteri tetap tinggal di Bulukumba (sebutan untuk ibukota Kabupaten Bulukumba) dan hanya sesekali datang ke Kassi Buta. Hidup ‘terpisah” dengan isteri dijalani selama kurang 13 bulan.
Pada 1 Desember 1960, Aminuddin dipindahkan ke Sekolah Rakyat (SR) 12 Kalumeme, Kecamatan Ujungbulu. Di sekolah ini, ia mengajar sebagai guru biasa selama 17 tahun.
Ada beberapa peristiwa tak terlupakan selama 17 tahun mengajar di sekolah itu, antara lain ketika terjadi angin ribut, gedung sekolah SR 12 Kalumeme roboh.
”Terpaksa anak-anak belajar di kolong rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar sekolah,” paparnya.
Ketika itu, rumah penduduk umumnya masih berupa rumah panggung, yaitu rumah kayu yang tinggi dan rata-rata memiliki kolong setinggi antara satu setengah meter sampai dua setengah meter. Di kolong rumah penduduk itulah murid-murid SR 12 Kalumeme bersekolah sambil menunggu dibangunnya gedung sekolah baru.
Gedung sekolah baru yang dibangun pemerintah sebagai pengganti gedung yang roboh, hanya bersifat sementara yang berdinding papan dan berlantaikan tanah.
Waktu itu, juga masih ada sisa-sisa buku tulis yang terbuat dari batu pipih seukuran buku tulis berwarna hitam. Buku hitam itu hanya bisa ditulisi dengan kapur putih, sehingga tangan murid-murid sekolah umumnya kotor oleh kapur dan harus dicuci setiap ”keluar main” (jam istirahat), serta ketika usai jam pelajaran.
Saat masih mengajar di sekolah itu, SR 12 Kalumeme kemudian berubah menjadi SD Negeri 10, karena terjadi penciutan jumlah sekolah dan perubahan nama dari Sekolah Rakyat (Sekolah Rakyat) menjadi Sekolah Dasar (SD).
”Waktu itu juga sempat terjadi perpanjangan tahun ajaran, jadi anak-anak belajar selama satu setengah tahun,” ungkap Aminuddin.
Naik Sepeda
Yang juga tidak bisa dilupakan dan sekaligus menjadi kenangan manis bagi Aminuddin ketika mengajar di SD 10 Ela-ela, yaitu selama 13 tahun lamanya ia hanya naik sepeda pergi mengajar, padahal sebelum menikah ia adalah seorang remaja dan pemuda yang cukup ”berada”, serta kemana-mana naik sepeda motor HYS 500cc.
”Hanya dihitung jari ketika itu anak muda yang memiliki sepeda motor, apalagi HYS 500cc,” ungkapnya.
Ia kehilangan sepeda motornya pada tahun 1960, setelah terjadi situasi yang kurang bagus. Sebagai guru sekolah dasar, gajinya tergolong kecil, padahal ia sudah punya seorang isteri dan seorang anak.
Sepeda motor kesayangannya yang dibeli seharga Rp 4.000 (empat ribu rupiah) terpaksa dijual seharga Rp 2.000 (dua ribu rupiah), tetapi yang membeli adalah mertuanya sendiri, Malakaji Daeng Bali.
Aminuddin kemudian membeli sepeda kumbang sebagai kendaraannya sehari-hari, termasuk untuk pergi mengajar di sekolah. Sejak tahun 1960 sampai tahun 1973 atau selama 13 tahun, ia hanya naik sepeda pergi mengajar.
”Tapi saya tidak pernah terlambat ke sekolah, kecuali kalau saya sakit atau ada halangan yang tidak bisa saya hindari. Saya selalu datang paling pagi sebelum guru-guru lain datang dan pulang paling belakangan. Saya memang selalu berupaya disiplin,” tandasnya.
Tahun 1973, barulah ia bisa membeli sepeda motor, yaitu motor Suzuki 50cc seharga Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah). (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar