Desember 07, 2011

Dimanakah? Merah Putih Berkibar pertama kali di Bulukumba Sulsel?

Dirgahayu Republik Indonesia, Ritual Bisu yang Lupa Sejarah
*Tempat Pengibaran Pertama Bendera Merah Putih tak Banyak Dikenali Orang

SETELAH menelusuri jejak sejarah Bulukumba, menanyakan ke berbagai pihak tentang tempat pengibaran bendera pertama di Bulukumba (dengan hasil yang kurang memuaskan) akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 2011, ketika hari masih gelap dan udara yang sangat dingin di kota Bulukumba, Tim Sudut RBB menerima telepon dari seseorang dan mengajak RB untuk mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih di sebuah kampung tua ParangloE di Desa Bulo-bulo Kecamatan Bulukumpa yang jaraknya sekitar 27 kilometer dari kota Bulukumba. Penelusuran RB tentang pengibaran bendera merah putih pertama di Bulukumba pun terjawab.
Setelah kendaraan yang membawa RB melaju kurang lebih 45 menit ke arah utara Bulukumba, RB pun tiba di tempat tujuan. Puluhan masyarakat baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, telah berkumpul pagi itu, memenuhi sisi jalan poros (Bulo--bulo-Salassae). Waktu menunjukkan pukul 07.00 lewat beberapa menit, rumput masih sangat basah. Bahkan, aroma kotoran dari kandang ternak milik penduduk setempat masih tajam menusuk hidung. apalagi, akses menuju tempat upacara memang hanya melewati sisi-sisi rumah warga yang kebanyakan petani yang beternak sapi.
Di tengah kebun cengkeh milik warga, RB diajak oleh seorang tokoh masyarakat (H.M Yusuf/ketua Muhammadiyah Cabang Bulukumpa) menyaksikan sebuah batu hitam dengan diameter kurang lebih 1 meter. Kepada RB, Yusuf menjelaskan bahwa batu itulah yang menjadi penanda bahwa, pada tanggal 19 September 1945, di tempat tersebut, pada sebatang bambu besar (Pettung) Bendera Merah Putih dikibarkan oleh para pemuda Bulukumpa yang pro kemerdekaan. Bendera itu dikibarkan dengan perasaan haru dan takut dan dihadiri oleh sekita 20 orang penduduk sekitar. Suasananya pun sangat mencekam karena banyak mata-mata Belanda, seperti dikisahkan ayah Yusuf kepadanya.
Sekitar pukul 07.20, upacara bendera itu pun digelar (sekitar 30 meter dari batu hitam). Peserta upacaranya adalah masyarakat sekitar kampung. Jumlahnya pun tak banyak, RB menyaksikan hanya sekitar 100 an orang. Namun, upacara itu sangat khidmat. Bendera dikibarkan oleh tiga orang pembawa bendera dengan seragam putih-putih. Paduan suara yang mengiringi pengibaran Bendera itu pun sangat unik karena terdiri dari ibu-ibu tua, penduduk kampung sekitar. Di barisan peserta upacara tak kalah uniknya, walaupun ada beberapa orang PNS, seorang polisi, puluhan petani dengan pakaian seadanya juga turut mengambil barisan dengan apik.
Pada upacara tersebut, Kepala desa Bulo-bulo bertindak selaku Inspektur Upacara dan seorang pemuda setempat yang bertindak sebagai Komandan Upacara. Suasana upacara menjadi sangat mengharukan saat lagu Indonesia raya dinyanyikan oleh ibu-ibu paduan suara dan ketika kronologis pengibaran bendera tersebut dibacakan oleh Yusuf.
Dalam kronologi yang dibacakan tersebut terungkap bahwa; pengibaran bendera merah putih diprakarsai oleh H. Mappiasse, Dolo dg. Bella dan Mandor Muh. Kasim. Atas dasar itu pulalah, pengibaran bendera tersebut dilakukan di belakang rumah H. Mappiasse (beberapa meter dari batu hitam/kini menjadi kebun cengkeh tempat pelakasanaan upacara).
Pada hari itu (19 September 1945), yang menyiapkan upacara adalah Pedda alias Nusu alias Yunus bersama Marzuki yang memotong bambu di kebun milik Solong (sekitar 100 meter dari batu hitam). Bambu tersebut, dibantu oleh H. Abd Hamid Patumbui, bertiganya lalu membawa bambu tersebut ke samping rumah H. Mappiasse.
Upacara pengibaran bendera pertama tersebut dipimpin oleh H. A. Mappisabbi dan A.M Nur sebagai komandan upacara dan seorang yang bernama Kamaluddin memandu lagu Indonesia Raya.
Walau gerimis turun di kebun cengkeh tempat upacara tersebut, upacara tetap berjalan dengan baik dan tertib.
Setelah upacara selesai, Kepala desa Bulo-bulo Bulukumpa, kepada RB mengatakan bahwa, pemerintah desa sebenarnya sangat ingin membuat tugu peringatan di tempat pengibaran bendera tersebut karena merupakan bagian sejarah Bulukumba yang tak boleh dipandang sebelah mata atau ditelantarkan. Hanya saja, pemerintah desa belum berhasil melakukan negosiasi harga dengan pemilik lahan tersebut. "Semoga suatu saat nanti kami berhasil," katanya.
Sementara itu, seorang tokoh masyarakat, SB Hamid (Direktur Harian Radar Bulukumba) mengatakan bahwa, Dirgahayu kemerdekaan beberapa tahun belakangan dirasakan mengalami pergeseran. Sepertinya tak masuk lagi menelusik semangatnya di hati. Peringatan hari kemerdekaan sepertinya hanya menjadi ritual bisu yang lupa dengan sejarah perjuangannya dan ritual itu hanya seolah menjadi milik pemerintah saja. Ini tergambar dari kecenderungan masyarakat Bulukumba tidak lagi tertarik dengan khidmat mengikuti upacara pengibaran bendera seperti puluhan tahun silam.
"Puluhan tahun silam, masyarakat dari pedalaman Bulukumba akan beramai-ramai menuju kota di hari 17 Agustus, bahkan banyak yang naik kuda, hanya untuk mengikuti detik-detik pengibaran bendera. kini tidak lagi," jelasnya kepada RB.
Lebih jauh, SB Hamid mengatakan, jangankan menghayati makna perjuangan dan nilai kemerdekaan, hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa sejarah kemerdekaan pun kini tak lagi menjadi hal yang menarik bagi generasi muda. "Bayangkan saja, di Bulukumba, tempat pengibaran pertama bendera merah putih saja tak banyak dikenali orang," katanya.
Setelah meninggalkan tempat tersebut, RB berkesempatan menemui dua orang diantara saksi sejarah yang masih hidup atas pengibaran bendera merah putih pertama di Bulukumba yakni H. Muh. Said di desa Bulo-bulo dan H. Abd Hafid Patumbui di kota Bulukumba. Kedua saksi sejarah tersebut sudah tua dan kondisi fisiknya terus mengalami penurunan karena usia yang kian lanjut. Namun, mata mereka masih menyiratkan perjuangan yang keras untuk kemerdekaan bangsa ini. (dhika/80)
(tulisan ini dikutip dari Harian Radar Bulukumba)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar